Mereka yang hartanya dirampas, antara lain, Dicky Iskandar Dinata, Sudjiono Timan, Yudi Kartolo, dan Hartono Tjahjadjaja. Harta mereka disita saat penyidikan dan dijadikan barang bukti di pengadilan.
Dicky dihukum delapan tahun penjara pada 1992 lantaran terperosok transaksi valuta asing yang merugikan Bank Duta sebesar Rp 780 miliar. BPK mencatat, barang rampasan dari Dicky, antara lain, sebuah mobil BMW 5301 keluaran 1987, sebuah jip Mercedes Benz keluaran 1988, dan deposito sebesar US$ 5,948 juta atas nama Edwin Boy Adam. Total barang yang disita mencapai 14 item, termasuk ribuan lembar saham di pelbagai perusahaan.
Sedangkan harta Sudjiono yang pernah disita, antara lain, tanah kaveling hak guna bangunan di Mega Kuningan Barat, Jakarta. Sudjiono menjadi buron setelah Mahkamah Agung menghukumnya pada 2004 lantaran menyelewengkan dana pinjaman pemerintah sebesar US$ 120 juta dan Rp 98,7 miliar. Seperti harta Dicky, keberadaan barang rampasan dari Sudjiono juga tak diketahui.
Demikian pula harta pembobol Bank Republik Indonesia (BRI) sebesar Rp 294 miliar pada 2003, Yudi Kartolo dan Hartono Tjahjadjaja. Keberadaan duit sitaan Rp 903 juta dari rekening Bank Internasional Indonesia (BII), duit Rp 98,8 juta dari rekening Bank Central Asia (BCA), duit Rp 959,9 juta dari rekening BII yang lain, dan duit Rp 109,6 juta dari rekening BCA yang lain, juga tidak jelas.
Menurut BPK, Kejaksaan semestinya mengembalikan uang Yudi dan Hartono ke rekening Bank BRI cabang Segitiga Senen setelah kasusnya divonis di Mahkamah Agung pada 2005. Tapi, sampai saat ini, tulis BPK, “Belum ditemukan bukti dari Kejari Jakpus ke Bank BRI.”
BPK juga menyebutkan, sampai April 2010 uang rampasan dari Hendra Rahardja senilai Rp 4,1 miliar belum disetor ke kas negara. Padahal duit yang berasal dari aset terpidana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia di Hong Kong itu mengendap di rekening penampung Kejaksaan di Bank BRI sejak 10 Desember 2009.
Juru bicara Kejaksaan Agung, Babul Khoir, mengakui persoalan barang rampasan ini menjadi tunggakan lembaganya setiap tahun. “Ini memang belum diselesaikan,” ujarnya, Sabtu lalu. Menurut dia, barang rampasan yang tak diketahui keberadaannya tersebut bukan berarti hilang. “Ada yang sudah disetorkan ke kas negara, tapi jaksanya tidak lapor,” kata Babul.
Selain itu, dia melanjutkan, ada perbedaan persepsi antara Kejaksaan dan BPK dalam menghitung nilai barang rampasan. Menurut Babul, alih-alih membayar uang pengganti kerugian negara, para terpidana itu memilih menjalani hukuman penjara tambahan sebagai gantinya. “Sehingga ada perbedaan antara jumlah uang pengganti yang disebut dalam amar putusan dan kenyataannya,” katanya.
ANTON SEPTIAN