TEMPO Interaktif, Jakarta - Ketua Transparansi Internasional Indonesia Todung Mulya Lubis berpendapat, pendiri Situs Wikileaks, Julian Assange justru seharusnya menjadi pihak yang dilindungi. Hal ini agar di masa depan orang tak lagi gegabah mengirim memo melalui kawat diplomatik karena keterbukaannya. "Ini sebuah terobosan yang mengubah mindset orang karena suatu ketika akan terbongkar apapun yang dibicarakan," kata Todung dalam diskusi bertajuk 'Fenomena Wikileaks dan Prinsip Jurnalistik' di kantor Dewan Pers, Jumat 17 Desember 2010.
Selama dua pekan terakhir ini dunia dihebohkan oleh bocornya ratusan dokumen kawat diplomatik Amerika Serikat di Situs Wikileaks (www.wikileaks.org), yang didirikan jurnalis Australia, Julian Paul Assange. Situs itu merilis kawat yang dikirim dari 274 Kedutaan Besar Amerika di berbagai belahan dunia, termasuk dari Departemen Luar Negeri Amerika.
Menurut Todung, isu transparansi akuntablitias memang bukanlah hal baru. "Tapi apapun alasannya harus dibela karena dia (Assange) mengukuhkan kembali keterbukaan akuntabilitas. Dia penting sebagai whistle blower dan bisa membuat rezim korupsi semakin takut," kata Todung yang juga pengacara kondang ini.
Sebanyak 251.287 dokumen ada di tangan WikiLeaks. Tapi baru 300 dokumen yang dirilis. Sisanya akan dibocorkan bertahap. Dari total dokumen yang disimpan, 3.059 di antaranya kawat diplomatik dari Kedutaan Besar Amerika di Jakarta.
Dokumen yang tak rahasia sebanyak 1.510, selebihnya rahasia dengan kategori "confidential" (1.451) dan "secret" (98). Salah satu dokumen yang bocor itu berisi soal campur tangan Pemerintah Amerika dalam proses referendum masyarakat Provinsi Timor Timur pada 1999. Referendum itu akhirnya menghasilkan keputusan Timor Timur lepas dari Indonesia dan menjadi negara Timor Leste.
RIRIN AGUSTIA