TEMPO Interaktif, Surakarta - Status keistimewaan sebuah daerah dimungkinkan untuk dapat dicabut oleh pemerintah pusat. Hal ini pernah menimpa Daerah Istimewa Surakarta, yang dihapuskan oleh Soekarno pada tahun 1946. Hanya saja, harus ada kondisi tertentu yang melatarbelakangi penghapusan status keistimewaan tersebut.
Hal tersebut diungkapkan oleh pakar sejarah dari Universitas Sebelas Maret Surakarta, Sudharmono. Menurutnya, Pemerintah Hindia Belanda telah memberikan hak keistimewaan kepada Keraton Surakarta Hadiningrat dan Yogyakarta Hadiningrat dalam bentuk sebuah otonomi, sejak tahuin 1930. "Hak tersebut berlanjut hingga setelah Indonesia merdeka," kata Sudharmono saat ditemui, Rabu (01/12).
Hanya saja, setahun setelah merdeka, terjadi revolusi sosial besar-besaran di beberapa wilayah di Surakarta. Revolusi sosial tersebut dipicu oleh sekelompok kaum intelektual yang menolak kekuasaan keraton yang dinilai terlalu besar. Gerakan tersebut mencapai puncaknya pada penculikan terhadap Perdana Menteri Syahrir yang saat itu sedang berada di Surakarta, serta pembakaran gedung Kepatihan.
"Revolusi sosial yang berujung pada rusuh masa tersebut membuat pemerintah pusat mencabut status Surakarta sebagai daerah istimewa pada 1946," kata Sudharmono.
Menurut Sudharmono, isu yang dibawa oleh intelektual yang bergabung dalam Panitia Anti Swapraja tersebut menyulut gerakan serupa di beberapa daerah yang masih memiliki keraton. "Gerakan serupa juga sempat mengancam eksistensi daerah Istimewa Yogyakarta," kata Sudharmono. Hanya saja, gerakan tersebut teredam lantaran Yogyakarta menjadi ibu kota negara saat berlakunya Republik Indonesia Serikat.
Dia menegaskan, pemerintah tidak sepatutnya mempersoalkan mengenai kesitimewaan Yogyakarta. "Pemerintah perlu meninjau faktor historis lebih dalam," kata Sudharmono. Sebab, hingga saat ini tidak ada permasalahan serius yang terjadi di Yogyakarta yang berkaitan dengan status keistimewaan yang dimiliki.
Sudharmono menilai, Yogyakarta perlu untuk melakukan referendum untuk mengetahui pendapat masyarakat mengenai keistimewaan tersebut. Dia menilai, referendum tersebut dapat menjadi peredam agar pro kontra mengenai keistimewaan tersebut tidak menimbulkan situasi yang tidak menentu.
AHMAD RAFIQ