Saat ini, kata Jusuf, masih ada dua opsi penyelesaian HAM di Indonesia; apakah KKR, ataukah konvensi. Pihaknya sendiri cenderung memilih KKR. Alasannya, naskah asli lebih pas untuk penyelesaian masalah HAM. Apalagi, tidak banyak negara memiliki konvensi orang hilang . "Hanya sekitar 22 negara di dunia, kebanyakan di Amerika Selatan. Di Asia hanya Jepang. Di Eropa Tidak ada. Jadi hanya sedikit sekali," kata Jusuf.
Selain itu, ratifikasi konvensi internasional orang hilang juga punya konsekuensi lain, demi bisa memenuhi standar. Jusuf menyontohkan, konvensi harus memenuhi standar International Labour Organization.
"Yang keberatan ini nantinya Kemenakertrans. Karena imigran yang terlantar harus diberi rumah. Anaknya disekolahkan. Kita akhirnya jadi negara imigran. Tanpa sadar banyak yang berbondong-bondong ke Indonesia. Padahal negara kita sekian juta warganya masih miskin," papar Jusuf.
Jusuf berharap, jika jadi terbentuk, nantinya KKR tak sekadar forum seremonial. "Bukan seremonial tempat minta maaf nangis-nangis. Bukan. Tapi bagaimana semua yang ingin sembuh bisa melupakan dukanya. Itu yang formulanya masih diperdebatkan. Apakah 'aspirin' ataukah 'jamu'."
Ia menggambarkan kasus di Afrika Selatan, di mana ada seorang janda bersedia menikah dengan laki-laki yang membunuh suaminya. "Itu rekonsiliasi yang dilakukan luar biasa. Nggak masuk di benak kita. Ini yang belum ketemu formulanya," ujar Jusuf.
Isma Savitri