TEMPO Interaktif, Garut - Pergerakan tanah di Kampung Cimareme Tengah, Desa Tegalgede, Kecamatan Pakenjeng, Kabupaten Garut, Jawa Barat, semakin meluas. Retakan tanah pertama kali terjadi pada 13 Sepetember lalu.
“Tiap hujan pasti ada retakan tanah baru,” ujar Kepala Desa Tegalgede, Yuhana, di lokasi kejadian, Senin (27/9).
Menurut dia, saat ini retakan tanah yang berada di sekitar ruas Jalan Tegalgede-Condong memanjang sekitar 30 meter dengan kedalaman tanah sekitar 40-50 sentimeter. Pada saat pertama kejadian, panjang retakan hanya 15 meter dengan kedalaman sekitar 30 sentimeter.
Akibat kondisi ini jumlah rumah warga yang mengalami kerusakan pun bertambah. Pada pertama kejadian, jumlah rumah yang rusak hanya sebanyak sembilan rumah. Namun saat ini jumlah rumah warga yang rusak mencapai 60 unit rusak berat dan 180 rumah rusak ringan.
“Ratusan rumah lainnya yang dihuni 239 kepala keluarga yang terdiri dari 645 jiwa terancam retakan,” ujarnya.
Yuhana menambahkan, saat ini sebanyak 72 kepala keluarga yang terdiri dari 240 jiwa telah dievakuasi ke tenda pengungsian. Namun, jumlah tenda pengungsian yang tersedia sebanyak delapan buah, tidak dapat menampung warga.
Tenda 1 dihuni oleh dua kepala keluarga (KK) dengan jumlah 11 orang, tenda dua dihuni oleh 10 KK dengan 34 orang, tenda 3 dihuni oleh 6 KK dengan 16 orang, tenda 4 dihuni tiga KK dengan 12 orang, tenda 5 dihuni 8 KK dengan 28 orang, tenda 6 dihuni oleh 35 KK dengan 136 orang, tenda 7 dihuni oleh 7 KK dengan 28 orang dan tenda 8 dihuni oleh 3 KK dengan jumlah 11 orang. “Warga terpaksa berdesak-desakan,” ujarnya.
Akibatnya, sebagian warga terpaksa memilih untuk bertahan di rumahnya meski selalu dihantui rasa cemas. Jumlah pengungsi ini diprediksi masih akan terus bertambah karena retakan tanah terus bertambah setelah diguyur hujan. Karena itu, saat ini diperlukan sedikitnya sekitar 30 tenda tambahan untuk menampung warga yang mengungsi.
Camat Pakenjeng Jajat Djarajat menyesalkan sikap Pemerintah Kabupaten Garut karena sampai saat ini belum ada satu pun tim teknis yang turun ke lapangan untuk meninjau lokasi bencana. Karena itu, pihaknya terus berkoordinasi dengan tim dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) untuk meneliti lokasi tanah retak.
Berdasarkan hasil kajian, tim menyatakan bahwa retakan tanah tersebut tidak akan membahayakan keselamatan, namun hanya akan menimbulkan kerugian material saja. Selain itu, tim dari vulkanologi juga merekomendasikan agar lahan warga yang mengandung air, seperti kolam dan persawahan di atas pemukiman warga untuk dibersihkan. Hal itu untuk mencegah timbulnya retakan tanah yang semakin meluas. “Berdasarkan kajian, retakan ini tidak berpotensi longsor. Tapi sebagai antisipasi, warga tetap kami ungsikan” ujarnya.
Sekedar untuk diketahui, pemukiman di Kampung Cimareme Tengah ini merupakan lokasi relokasi korban tanah retak pada tahun 2004 lalu dari Kampung Cikajar. Saat itu, retakan tanah di Cikajar dinyatakan tidak layak huni dan sebanyak 342 kepala keluarga harus direlokasi ke tempat yang dianggap aman, yakni Kampung Cimareme Tengah.
Namun, di tempat relokasi ini juga, retakan tanah kembali terjadi. Peristiwa ini membuat warga trauma. “Makanya warga mengungsi karena dihantui rasa cemas,” ujar Kepala Desa Tegalgede Yuhana.
SIGIT ZULMUNIR