Ginting mengungkapkan, data yang dikumpulkan oleh Walhi dari Badan Koordinasi Nasional (Bakornas) dalam lima tahun terakhir sejak tahun 1998-2003, menyebutkan, bencana alam sebanyak 85 persen disebabkan oleh kerusakan lingkungan. "Apakah itu tanah longsor ataupun banjir bandang," ujarnya.
Berdasarkan laporan yang diterima Walhi, penyebab terjadinya kerusakan rumah di pemukiman sepanjang sungai Bahorok dan kawasan wisata Taman Nasional Gunung Leuser adalah terkena terjangan pohon dan kayu-kayu hasil tebangan. "Daerah tersebut merupakan wilayah penebangan liar," kata Ginting. Kondisi ekosistem Leuser sampai saat ini 22 persen dalam keadaan rusak atau 170 ribu hektare dari total luas Taman Nasional Gunung Leuser yang 788 ribu hektare.
Dia menambahkan, di kawasan ekosistem Leuser saat ini ada proyek jalan Ladia Galaska yang menghubungkan Samudera Indonesia sampai Selat Malaka, melintasi kawasan Gayo. Proyek ini dibagi tiga bagian, jalan utama, pendukung dan penunjang. "Salah satu jalan penunjang memotong daerah sungai Bahorok," katanya. Tepatnya jalur antara Takengon menuju Langkat. Ia melihat ada indikasi pembukaan jalan ini menjadi salah satu penyebab terjadinya banjir bandang.
Walhi mendesak pemerintah untuk segera mengeluarkan kebijakan penghentian penebangan hutan (moratorium logging) agar kejadian banjir bandang di Bahorok tidak terulang lagi. "Mengingat kritisnya kondisi lingkungan hidup di Indonesia, maka kejadian seperti ini bisa terjadi dimana saja dan kapan saja," kata Ginting.
Seperti diketahui, Desa Bukit Selawang Kecamatan Bahorok, Kabupaten Langkat, Sumatra Utara, Senin (3/11) dini hari diterjang banjir. Bencana alam ini menewaskan 90 orang termasuk enam orang turis asing yang sedang berwisata. Sementara ratusan orang lainnya menderita luka-luka dan belum diketemukan.
Poernomo G. Ridho - Tempo News Room