TEMPO Interaktif, Jakarta - International NGO Forum on Indonesian Development (Infid) menilai pemerintah Indonesia belum sembuh dari penyakit kecanduan utang. RAPBN 2011 menunjukkan hal itu.
"Tekad Presiden SBY untuk mengurangi utang agar tidak membebani APBN seperti yang disampaikan pada Rapat Kabinet Terbatas Bidang Ekonomi pada 19 Juli lalu, ternyata tidak terbukti," kata Direktur Eksekutif Infid Don K Marut dalam keterangan persnya, Selasa 17 Agustus 2010.
Don melihat, RAPBN 2011 masih mengandalkan utang luar negeri. Dengan defisit yang semakin tinggi, yakni Rp 115,7 triliun, utang yang akan dipakai untuk menutupnya jelas semakin besar. Di sisi lain, dengan adanya beban jatuh tempo, RAPBN 2011 juga sangat besar mengalokasikan pembayaran bunga utang sebesar Rp 116,4 triliun. "Pembayaran utang luar negeri bahkan lebih besar daripada utang baru (negative flows)," ujarnya.
Infid juga mengkritik program penyejahteraan rakyat yang sebagian besar dibiayai dengan utang luar negeri. Seperti Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), Bantuan Langsung Tunai (BLT), Biaya Operasional Sekolah (BOS), Program Keluarga Harapan (PKH), maupun Jaminan Kesehatan Orang Miskin (Jamkeskin).
"Itu menunjukkan pemerintah sekarang mau membantu rakyat miskin pada masa kini, dengan membebani rakyat miskin di masa depan untuk membayar utang tersebut," ujar Don.
Infid juga mengkritis skema perlindungan sosial yang ditawarkan RAPBN 2011 yang dinilai tak bergeser dari perspektif karitatif yang bersifat bantuan sosial alih-alih penjaminan sosial yang bersifat permanen. Pemerintah seolah-olah melihat dirinya sebagai donatur yang baik hati pada rakyat.
"Tapi sebenarnya mengabaikan penderitaan rakyat akibat kebijakan-kebijakan pemerintah yang keliru, termasuk kebijakan bergantung pada utang luar negeri," katanya.
Menurut Infid menilai ada fakta-fakta muram yang disembunyikan dalam Pidato Kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang dibacakan kemarin. RAPBN 2011 lebih menonjolkan janji-janji menaikkan gaji pegawai negeri sipil dan TNI/Polri, "Namun abai terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat secara menyeluruh," kata Don.
Isma Savitri