Sofyan mulai bergabung di Polres Depok sekitar 2000. Alumnus Sekolah Kepolisian Negara Lido, Sukabumi, Jawa Barat, itu pernah ditempatkan di bagian Bimas, lalu ke Bagian Pengamanan Obyek Vital, selanjutnya dipindah ke bagian Samapta.
Sebelum dipecat pada 2006 lantaran setahun tak pernah masuk, Sofyan pernah dikirim ke Aceh pada 2004 sebagai anggota tim dai Kamtibmas Polres Depok. Seorang sumber di Polres Depok berpangkat brigadir kepala bercerita, sebelum berangkat ke Aceh, Sofyan sudah memiliki pemahaman agama yang kuat. "Ceramahnya bagus, menggebu-gebu, dan keras sekali dalam menyampaikan kritikan," katanya kemarin.
Dalam perbincangan sehari-hari, sumber ini melanjutkan, Sofyan sering mengutarakan niatnya berjihad. Ia juga kerap mengutarakan kekecewaannya terhadap Amerika Serikat. "Menurut Sofyan, negara-negara luar sudah terlalu banyak melakukan intervensi terhadap Indonesia," kata sang bripka. Perubahan pemikiran Sofyan sangat drastis terjadi setelah bertugas di Aceh. "Ketika di Aceh, dia berubah jadi ekstrem," kata sumber ini.
Kepala Satuan Samapta Polres Depok Komisaris Putu Sumada masih ingat dengan jelas bagaimana sikap Sofyan, yang dinilainya sangat kurang ajar. "Dia enggak hafal Pancasila karena Pancasila menurutnya haram," kata Putu.
Bahkan, Putu melanjutkan, Sofyan juga tak mau mengucapkan Tri Brata dan menganggap pekerjaan polisi sebagai sesuatu yang haram. Atas sikapnya yang lancang tersebut, Putu tak segan menamparnya. Tindakan Putu menampar Sofyan itu pernah memancing protes dari ayah Sofyan. "Ayahnya sempat tak terima, tapi saya bilang, 'Selama (dia) menjadi polisi, maka saya, atasannya, berhak menertibkan dia,'" kata Putu.
Dengan latar belakang seperti itu, Putu tak terlalu terkejut ketika Sofyan ditangkap oleh Tim Detasemen Khusus 88 Antiteror lantaran hubungannya dengan para tersangka teroris Aceh. "Saya sudah menduga keterlibatannya di aliran itu, cepat atau lambat pasti tertangkap Densus 88," katanya.
TIA HAPSARI