TEMPO Interaktif, Pontianak - Pelepasliaran tukik (anak penyu) ke laut terbuka oleh warga Desa Sebubus, Kecamatan Paloh, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat (Kalbar), akhir pekan lalu, dinilai sejumlah pihak sebagai sebuah kedok belaka. Diduga kuat di balik aksi pelepasliaran tukik tersebut ada sindikat perdagangan telur penyu.
Iswono, staf pengajar Jurusan Kesehatan Lingkungan, Politenik Kesehatan (Poltekkes) Pontianak, Minggu (8/8), mengatakan pelepasliaran tukik-tukik tersebut dipertanyakan oleh sejumlah pihak karena jumlah yang dilepasliarkan terlalu kecil.
Ia juga bertanya di mana sisa telur penyu yang ditangkarkan itu. “Tidak menutup kemungkinan sisanya diselewengkan oknum tertentu, baik untuk konsumsi maupun kepentingan perdagangan,” kata Iswono.
Sebelumnya, Kamis (5/8) lalu, warga Desa Sebubus melepasliarkan 1.400 tukik di Pantai Kemuning, Desa Sebubus, yang kemudian dilanjutkan pada Sabtu (7/8) di Dusun Tanah Hitam sebanyak 200 tukik. Dari dua pelepasliaran tukik tersebut, tercatat untuk bulan Agustus sebanyak 1.600 tukik.
Angka tersebut dinai terlalu kecil jika dibandingkan dengan hasil riset Marine WWF-Indonesia Program Kalbar di garis pantai Desa Sebubus sepanjang 15 kilometer. Riset tersebut menyebutkan, dari tanggal 20 Mei sampai 31 Juli terdeteksi ada 1.031 sarang telur penyu.
Jika diasumsikan tiap ekor penyu mampu bertelur sebanyak 100 butir, maka ada 1.031.000 butir telur di setiap sarangnya. Jika ditambah dengan tingkat kematian sebesar 50 persen, maka jumlah telur yang tersisa masih 5.000-an butir. Sebanyak itulah idealnya jumlah tukik yang seharusnya dilepasliarkan ke laut.
Iswono menambahkan, penyu merupakan salah satu satwa dilindungi. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati Beserta Ekosistemnya, sudah jelas menekankan bahwa yang dilindungi itu bukan habitatnya, tapi spesiesnya. “Oleh karena itu, di mana pun dia berada wajib dilindungi dan dilestarikan,” tambah Iswono.
Marine Protected Area (MPA) Portfolio Manager WWF-Indonesia, Sudarsono Kimpul, saat dikonfirmasi mengatakan pihak WWF akan mendukung penuh pelepasliaran tukik di Paloh selama pelepasliaran tukik di Paloh dilakukan dengan napas konservasi, namun apabila dilakukan semata-mata hanya sebagai sebuah kedok perdagangan telur penyu tentu WWF akan menentang.
“Jika itu dilakukan hanya sebagai kedok belaka, jelas kita tentang karena tidak searah dengan napas konservasi,” katanya.
Menurut Sudarsono, penyu dibiarkan melakukan ritual peneluran hingga penetasan secara alamiah di sarangnya sendiri. Tujuannya agar si tukik dapat merekam medan magnetik bumi tempat ia dilahirkan dan bukan dengan cara memindahkan ke penangkaran. “Memindahkan ke penangkaran dilakukan jika kelangsungan hidupnya memang terancam,” tambahnya.
Sementara itu, Sekretaris Desa Sebubus, Ramlan, mengatakan pelepasliaran tukik tersebut adalah merupakan inisiatif masyarakat dan pemerintah desa setempat. Pelepasliaran tersebut, katanya, merupakan swadaya masyarakat setempat.
“Kita sudah lepaskan 1.400 tukik di Tanjung Kemuning dan 200 tukik di Dusun Tanah Hitam. Ini murni swadaya masyarakat,” jelasnya.
Kepala Seksi Konservasi Wilayah III Singkawang, Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kalbar, Junaidi, saat dikonfirmasi mengatakan inisiatif warga untuk melepasliarkan tukik ke laut dinilainya sudah baik, namun masih perlu pembinaan.
“Bagaimana pun penyu itu satwa yang dilindungi. Perlu prosedur perizinan untuk menangkarnya. Paling tidak rekomendasi dari BKSDA dan Pemda setempat,” katanya.
HARRY DAYA | INDRA