Ketua Divisi Advokasi Walhi Aceh, Basyuni mengatakan sejauh ini belum ada upaya penyelamatan dari ancaman kepunahan oleh pemerintah daerah setempat. "Beberapa perusahaan sawit mengekploitasi kawasan tersebut," ujarnya di Banda Aceh, Rabu (4/8).
Menurutnya, hutan Mangrove yang terancam punah tersebut seluas 3.000 hektar. Dari jumlah tersebut, sebanyak 600 hektar merupakan hutan lindung mangrove dan 2.400 hektar lainnya adalah kawasan hutan produksi bakau.
Akibatnya, kata Basyuni, mata pencaharian penduduk yang bergantung pada laut semakin terancam dan punah, karena rusaknya ekosistem dan populasi habitat yang ada seperti Kerang, Seteng (yang mengandung mutiara) dan burung Rangkok. Menurut Basyuni kerusakan hutan mangrove tersebut sudah berlangsung dalam beberapa tahun terakhir dimulai dari tahun 1990.
Dampak lainnya yang mengkhawatirkan akibat perambahan hutan mangrove adalah memicu terjadinya konflik antara masyarakat dengan pengusaha perkebunan kelapa sawit. "Perambahan hutan mangrove secara tak terkendali menyebabkan sebuah desa di kawasan tersebut yaitu Desa Pusong Kapal, Kecamatan Seruway berpindah sebanyak tiga kali akibat abrasi pantai," ujarnya.
Walhi Aceh mengharapkan Pemkab Aceh Tamiang, Pemerintah Aceh dan Menteri terkait segera turun tangan memberikan perhatian serius untuk penyelamatan hutan mangrove di pesisir Aceh Tamiang dari kepunahan dan melakukan meninjau ulang izin pengelolaan hutan yang diberikan kepada sejumlah perusahaan. ***
Adi Warsidi