Dia mengakui, terhadap delik pers telah tersedia Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Selain itu, aparat penegak hukum juga bisa menggunakan pasal-pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Baidowi menjelaskan, meski bersifat khusus atau lex spesialis, beberapa pasal di dalamnya sama dengan KUHP. Selain itu, penerapan undang-undang tetang pers tidak mudah dilakukan karena sulit dalam menafsirkannya. Itu sebabnya aparat penegak hukum lebih memilih menggunakan KUHP. “Saya masih belum ngerti penafsiran Undang-Undang Pers,” kata Baidowi kepada TEMPO, Kamis (24/6).
Sepanjang kariernya sebagai kepala kejaksaan, Baidowi baru satu kali menangani perkara yang berkaitan dengan pemberitaan pers. Saat itu, dia mendakwa seorang jurnalis dengan pasal pencemaran nama baik. Jurnalis tersebut diperkarakan seorang kepala daerah karena menulis berita kasus korupsi yang melibatkan sang kepala daerah.
Baidowi meminta para jurnalis di Kediri berhati-hati dalam menulis berita. Dia bahkan mengkritik banyaknya penulisan berita di Kediri yang terlalu berani. Seseorang yang masih diperiksa penegak hukum sudah disebut sebagai tersangka. Hal ini menurutnya tidak menghormati kaidah hukum dan bisa menggiring opini masyarakat. “Hal ini seperti ini bisa dijerat dengan pasal pencemaran nama baik,” ujarnya.
Ketua Divisi Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kediri Budi Sutrisno mengecam apa yang dikemukakan Baidowi. Sebagai seorang pemimpin institusi penegak hukum, seharusnya Baidowi menghormati azas hukum yang diterapkan dalam undang-undang tentang pers. “Penggunaan pasal pencemaran nama baik yang merupakan pasal karet untuk menjerat wartawan merupakan langkah mundur,” paparnya. HARI TRI WASONO.