“Bahkan, sebelum melakukan penyerangan, mereka sempat mengadakan upacara adat untuk menyerang suku Madura,” ujar Kakorserse Polri Irjen Pol Engkesman Hillep dalam keterangan persnya bersama Kapolri Jendral Pol S. Bimantoro dan Kapuspen Polri Irjen Pol Didi Widayadi, Rabu (7/2) di Mabes Polri, Jl. Trunojoyo, Kebayoran, Jakarta Selatan.
Otak kerusuhan itu, ujar dia, diketahui berinisial FA, SH., seorang Kabid Litbang Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Kotim dan menduduki posisi sebagai Sekretaris Musyawarah Masyarakat Dayat Kalimantan Tengah; ILP alias IN, pegawai sasta, dan LW bin MB, seorang polisi kehutanan.
Polisi menajamkan pemeriksaan terhadap FA yang dinilai lebih memahami dari kedua rekannya. FA mengaku telah menyiapkan uang Rp 15 juta untuk menciptakan kerusuhan di kota itu. Namun, diakuinya, pada saat penyerangan 30 orang Dayak terhadap suku Madura pada 18 Februari itu, ia justru berada di Kotawaringin Barat, Pangkalanboen. Dalam penyerangan itu, satu keluarga Madura beranggotakan empat orang meninggal dunia.
Menurut Engkesman, berdasarkan pengakuan tersangka, motif mereka melakukan penyerangan didorong oleh dendam masyarakat Dayak terhadap peristiwa bentrokan di Kerengpanji antara orang Madura dengan orang Dayak yang mengakibatkan luka-luka sejumlah warga Dayak. Pelaku yang dibebaskan polisi dan dilindungi orang Madura itu menorehkan luka bagi warga Dayak.
Setelah kejadian itu, tokoh-tokoh Madura di Sampit mengadakan upacara Gema Perdamaian agar masyarakat Dayak melupakan peristiwa itu. Undangan acara itu dibuat dengan mengatasnamakan sebagian warga Dayak yang tidak mengetahui perihal acara itu. Akibatnya, banyak warga Dayak menganggap nama-nama itu telah berkhianat terhadap sukunya sendiri. FA sendiri tak luput dari nama yang dicatut warga Madura itu.
Fatalnya, kata Engkesman mengutip FA, upacara Gema Perdamaian itu mencomot saja beberapa orang Dayak yang tidak terkait dengan peristiwa di Karangpanji itu untuk melakukan upacara Gema Perdamaian. Akibatnya, bukan upacara Gema Perdamaian yang terjadi, justru muncul upacara ritual yang mengesankan warga Madura akan melakukan serangan terhadap warga Dayak. Dari sinilah warga Dayak bersepakat menyerang warga Madura.
Pengakuan tersangka ini, menurut Kapolri Jendral Surojo Bimantoro, masih akan ditelusuri polisi untuk memastikan kebenaran pengakuannya. “Kita cek dengan saksi-saksi yang ada, karena bisa saja pengakuan itu hanya siasat tersangka menutupi alasan sebenarnya,” ujar Bimantoro.
Bimantoro menilai peristiwa yang terjadi di Sampit itu, akibat dari cultural lack. Sekalipun telah ada akulturasi budaya bertahun-tahun antara warga Dayak dengan pendatang, namun warga yang terus berdatangan dan membawa karakteristik baru ini mengakibatkan ketegangan-ketegangan tidak dapat dihindari lagi.
Kapolri juga mengungkapkan pertemuan dirinya dengan tokoh Dayak dan Madura yang menghasilkan suatu keinginan kuat dari wakil Madura agar dapat kembali ke Sampit. Warga Dayak pun, tutur Kapolri, bersedia menerima kembali warga Madura karena Indondesia merupakan negara kesatuan. “Untuk mewujudkan suasana itu dibutuhkan proses rekonsiliasi yang tidak pendek. Kami akan membantu melakukan penyiapan secara psikologis,”kata dia.
Pemda Kalimantan Selatan, lanjut Kapolri, bersedia memfasilitasi rekonsiliasi warga Dayak dengan Madura. Pemda Kalsel akan menjadi tuan rumah pertemuan-pertemuan itu dan akan melakukan penyelesaian secara adat.
Soal pengiriman Direktur Intelejen dan Pengamanam Brigjen Pol Wahyu Saronto bersama tim ke Sampit untuk mengevaluasi pekerjaan Polda Kalteng mengamankan wilayahnya, Kapolri memaparkan, Mabes Polri berusaha menilai secara jujur pada saat kejadian terjadi. Sehingga, ia sangat memaklumi posisi Kapolda Kalteng, Brigjen Pol Bambang Pranoto cukup kesulitan kerusuhan ini. “Siapapun yang menjadi Kapolda Kalteng dalam situasi seperti ini akan merasa terjepit,”tegas dia.
Pengamanan yang lambat dari polisi dalam kerusuhan ini, kata Bimantoro, karena wilayah Kotim yang sangat luas, sekitar 1/3 Pulau Jawa, kondisi tanah yang rusak, kekuatan polri yang terbatas, banyaknya perusuh, dan berbaurnya warga Dayak dan Madura bertahun-tahun. “Ini memungkin terjadinya pergesekan,” ujar dia.
Kapolri juga menegaskan akan menindak tegas anggotanya yang terlibat baku tembak dengan TNI AD pada saat mengamankan pengungsi di Pelabuhan. Polri, kata dia, telah mebentu tim gabungan dengan Provost untuk menyelidiki soal ini. Menurut diaa, perselisihan anggotanya dengan TNI AD, terdorong “semangat” bertugas menyelamatkan para pengungsi. Untuk menyelesaikan persoalan ini, kata dia, embarkasi pelabuhan Sampit diserahkan TNI, sedangkan perjalanan menuju pelabuhan diserahkan ke Polda Kalteng.
Sementara itu, Kapuspen Polri Irjen Pol Didi Widayadi memaparkan kerugian materiil yang harus dipikul akibat kerusuhan di Sampit. Dari data yang diperoleh dario Ditintel Polda Kalteng dari 18 Februari sampai 6 Maret 2001, sebanyak 1192 buah rumah dibakar, 749 dirusak, 16 buah roda empat, 43 roda dua, dan 114 buah becak dirusak massa. Korban meninggal sejumlah 371 orang dan 27 orang luka berat. “Korban meninggal lebih sedikit dari informasi terdahulu karena petugas mengalami penghitungan dengan mendobel korban jiwa,” kata Didi.
Sedangkan data orang yang ditahan, sebanyak 42 orang ditahan di Sampit dan tiga orang di Mabes Polri, 84 orang suku Dayak ditangkap di Hotel Rama, dan 38 orang ditangguhkan penahanannya. Kapuspen juga menuturkan, telah mengungsikan 45.574 warga Madura ke Pulau Jawa, dengan perincian terbanyak di Surabaya, diikuti Semarang, Tegal, dan Jakarta. Pengungsian juga dilakukan melalui jalan darat ke Banjarmasin.
Daerah yang bergolak, kata Kapuspen, berada di Palangkaraya 215 km dari Sampit, Samuda 40 km dari Sampit, Kumai 225 Km dari Sampit, Parenggean 112 km dari Sampit, Ketapang dan Baamang yang berada di dalam kota Sampit.
Polri, ujar Didi, telah menepatkan personelnya sebanyak 3 SSK Polda, 2 SSK Brimob Mabes, dan 1 Batalyon Brimob Mabes yang ditempatkan di Sampit. Di Palangkaraya, diterjunkan 2 SSK Brimob Mabes, 1 SSK Brimob Kalsel, 2 SST Brimob Kalteng, dan 3 SST Polda Kalteng. Polri juga minta bantuan kepada TNI yang menurunkan 2 SSK TNI Kalteng, 2 SSK TNI Banjarmasin, 1 batalyon TNI AD Balikpapan, dan 1 batalyon TNI AD Purworejo. (Istiqomatul Hayati)