Ketua Komnas HAM Papua, Jules Ongge mengatakan saat ini masyarakat Papua dalam kondisi kebingungan. Mereka menganggap SK MRP itu sah dan dapat dilaksanakan dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah tahun ini.
“Konflik akan terjadi jika tidak ada antisipasi yang baik oleh semua pihak. Misalnya jika di kabupaten/kota, pasangan calon yang maju dalam pemilukada ialah orang asli Papua dengan non-Papua. Tapi konflik juga dapat diredam, jika pasangan calon itu keduanya adalah orang asli Papua,” jelasnya kepada wartawan di Jayapura, Rabu (9/6).
Namun, masyarakat Papua juga harus mengetahui bahwa warga non Papua yang bertempat tinggal di Papua juga berhak untuk memilih dan dipilih. “SK tersebut jika dilihat dari sisi hukum dan hirarki perundangannya tidak dapat dibenarkan,” katanya.
Lanjut Ongge adanya penolakan SK MRP, di Jayapura sudah terlihat potensi konflik. Misalnya saja masyarakat dari Suku Nafri, yang merupakan masyarakat asli Jayapura, telah melakukan protes kepada pemerintah pusat dengan cara memalang tempat akhir pembuangan sampah bagi masyarakat di Kota Jayapura.
“Keinginan mereka hanya satu, yakni harus anak asli Port Numbay (sebutan Kota Jayapura dalam bahasa setempat) yang menjadi walikota dan wakil walikota. Tapi pada kenyataannya bakal calon yang mendaftar banyak yang bukan dari putra asli setempat. Bentuk dikotomi seperti ini yang menjadi salah satu pemicu konflik di Papua,” jelasnya.
Komnas HAM berharap dalam waktu dekat ada mediasi dari pemda Papua dan Majelis Rakyat Papua untuk duduk bersama menyelesaikan kasus ini. “Hal ini dimaksudkan agar kedua lembaga itu dapat menyampaikan penolakan SK ini kepada masyarakat Papua secara baik,” jelasnya.
Sementara itu Komisi Pemilihan Umum Papua masih menunggu surat resmi dari KPU pusat tentang kelanjutan pemilukada di Papua. “Dalam waktu dekat kami akan berkoordinasi dengan seluruh KPU kabupaten/kota untuk membahas kelanjutan pemilukada ini, sambil menunggu surat resmi dari pusat,” ujar Ketua KPU Papua, Benny Sweny, Rabu (9/6) di Jayapura.
Sebab sebelumnya KPU sempat menunda pemilukada selama 60 hari sambil menunggu sikap pemerintah pusat atas SK MRP itu. “Secepat mungkin kami akan laksanakan tahapan pemilukada selanjutnya,” ujarnya.
Kepala Biro Hukum Pemda Papua JKH Rumbiak menyatakan, bahwa SK MRP sangat diskriminatif serta melanggar HAM. "Dalam berpolitik, semua WNI berhak memilih dan dipilih, tak peduli itu non Papua ataupun orang Papua asli," katanya.
Keputusan penolakan terhadap SK MRP Nomor 14/2009 dilakukan setelah Menteri Politik Hukum dan Keamanan Joko Santoso, Gubernur Papua Barnabas Suebu, Panglima Komando Daerah Militer XVII/Cenderawaih Mayor Jenderal Hotma Marbun, dan Kepala Kepolisian Daerah Papua Irjen Bekto Suprapto menggelar pertemuan di Jakarta. “Mereka beralasan SK ini ditolak karena tidak sesuai dengan UU Otsus Papua no 21/2001,” ungkapnya.
Dengan adanya penolakan ini, maka 26 kabupaten dan kota di Papua dan Papua Barat tetap melaksanakan pemilukada tahun ini, dengan mengacu kepada UU no 32 tahun 2004 tentang tatacara pemilihan kepala daerah.
CUNDING LEVI