"Ini (Sekretariat Gabungan) bisa menjadi superbody politik yang membuat lembaga resmi presiden, wakil presiden, dan kementerian terpasung," kata Ahmad Muzani kepada Tempo kemarin.
Ahmad mengatakan, ide awal pembentukan Sekretariat Gabungan itu baik untuk meningkatkan efektivitas pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Namun, ia mengingatkan agar jangan sampai pemerintah bergantung pada partai koalisi. "Jangan sampai keputusan penting tergantung Sekretariat Gabungan."
Menurut ketua fraksi sekaligus Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Tjahjo Kumolo, setiap partai yang tergabung dalam Sekretariat Gabungan harus lebih mengerti apakah pembentukan organisasi ini bisa membahayakan sistem pemerintahan presidensial. "Itu urusan mereka. Tapi pertanggungjawaban sistem pemerintah presidensial itu kepada rakyat," tuturnya saat dihubungi kemarin.
Tjahjo mengatakan ada tiga sikap yang diputuskan fraksinya menanggapi pembentukan Sekretariat Gabungan. Pertama, PDIP akan menjalankan amanat kongres untuk tetap otonom. Kedua, kata dia, fraksinya akan aktif membangun komunikasi politik dengan fraksi lain. Dan ketiga, PDIP tak mau terlibat dalam urusan rumah tangga partai lain. "Tetapi, kalau ada pengambilan keputusan di DPR yang melibatkan partai-partai tersebut, boleh dong kami bersikap beda," katanya.
Adapun Sekretaris Jenderal Partai Keadilan Sejahtera Anis Matta mengatakan, dengan terbentuknya Sekretariat Gabungan, nantinya Presiden tak boleh mengambil kebijakan tanpa berkonsultasi dengan koalisi. "Yang ada selama ini, koalisi seperti didikte. Sekarang diubah, koalisi dilibatkan dalam kebijakan-kebijakan," ujarnya.
Menurut ahli hukum tata negara dari Universitas Hasanuddin, Makassar, Irman Putra Sidin, Sekretariat Gabungan amat kuat pengaruhnya dalam penentuan kebijakan negara. Apalagi, Sekretariat Gabungan memiliki mekanisme musyawarah untuk membahas kebijakan. Irman menilai mekanisme ini bisa menggerus habis-habisan kekuasaan DPR.
Dengan berkurangnya kekuasaan parlemen, kata dia, Sekretariat Gabungan sudah berjalan menuju praktek parlementer. "DPR bisa mati, cuma jadi gedung acara pernikahan, sementara proses romantismenya di sekber," kata Irman.
Dalam sistem parlementer, kata Irman, kebijakan dibuat di parlemen. Adapun dalam sistem presidensial, seperti yang dianut Indonesia, kebijakan bisa dibuat oleh presiden dan dikontrol oleh parlemen.
"Dalam sistem presidensial, parlemen tidak bisa begitu saja menjatuhkan presiden, sehingga SBY seharusnya tidak perlu khawatir dan Sekretariat Gabungan tidak perlu ada," ujar Irman.
ARYANI KRISTANTI | AMIRULLAH | PUTI NOVIYANDA