Dengan meningkatnya jumlah korban, lanjut Didi, pihak kepolisian tidak akan ragu-ragu lagi bertindak tegas. Hal ini sesuai dengan instruksi dari Kapolri Jenderal S. Bimantoro. Sejauh ini, polisi telah menembak lima perusuh, tiga di Sampit dan dua di Palangkaraya. Satu diantaranya tewas di tempat dan diketahui sebagai penjarah. Namun, Didi menolak menyebutkan etnis kelima orang tersebut.
Selain itu, 84 orang Dayak kemarin ditangkap satu kompi gabungan TNI/Polri saat berkumpul di Hotel Rama, Sampit, Kotawaringin Timur, ditangkap satu Kompi gabungan TNI dan Polri. Polisi pun menemukan berbagai jenis senjata tajam, seperti mandau dan tombak, serta persediaan logistik.
Mengenai pembantaian terhadap 118 pengungsi di Desa Parenggean, Didi mengatakan hal itu karena polisi dengan kekuatan 12 orang itu tidak mampu menghadapi amukan 600 orang lebih suku asli. Menurut dia, pihak aparat hanya memiliki dua regu pasukan yang bertugas mengawal para pengungsi. Masing-masing regu hanya berkekuatan 10 orang dan harus mengawal antara 200-500 orang.
Seperti diketahui, kemarin, 215 pengungsi dari berbagai etnis, seperti Madura, Jawa dan Banjarmasin, akan diungsikan keluar dari Sampit. Mereka hanya dikawal satuan keamanan dari kepolisian yang cuma berjumlah 12 orang. Namun, di tengah perjalanan, mereka diadang sekitar ratusan warga Dayak yang khusus menyerang pengungsi beretnis Madura.
Lebih lanjut dikatakan, saat melakukan penyerangan, masyarakat Dayak umumnya dalam keadaan trance (kerasukan). Sehingga, sekali mereka mengamuk, akan sulit dikendalikan. Untuk itu, lanjut dia, tokoh-tokoh Dayak telah melakukan upacara adat Kaharingan atau pencabutan roh. Upacara itu dimaksudkan untuk meredam emosi masyarakat Dayak yang dikatakan sedang trance.
Dalam kesempatan yang sama, Didi juga menjelaskan tentang hasil evakuasi pengungsi. Menurut dia, polisi mengalami kesulitan mengevakuasi mereka karena wilayah konflik saling tersebar. Selain juga akibat potensi konflik diantara kedua etnis itu sudah berlangsung cukup lama. (Istiqomatul Hayati)