Menurut Ketua ATVSI, Anton A. Nangoy, RUU tersebut lebih menekankan pada kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh lembaga penyiaran. Yang lebih memprihatinkan lagi ialah ancaman sanksi pidana yang terdapat dalam belasan pasal RUU jika kewajiban-kewajiban itu tidak terpenuhi. Sementara itu, kami dan masyarakat sebagai konsumen tidak memperoleh perlindungan apapun, kata Anton.
Ia juga menyayangkan adanya permintaan untuk menghidupkan kembali lembaga sensor terhadap tayangan rekaman televisi. Menurut dia, televisi sudah mempunyai sensor sendiri dan saat ini pihaknya sedang merumuskan kode etik penyiaran televisi.
RUU tersebut juga dinilai belum menampung sisi perkembangan teknologi di bidang multimedia. Jadi, jika RUU dipaksakan berlaku, ia yakin UU itu hanya akan bertahan satu atau dua tahun saja. Sebab, dalam era telematika seperti sekarang, sebuah media harus melengkapi dirinya sebagai sumber informasi jika ingin bersaing di pasar global.
Senada dengan Anton, Surya Paloh, pemilik Harian Media Indonesia dan Metro-TV mengatakan bahwa RUU Penyiaran mempunyai logika berpikir yang terbalik. Bagaimana mungkin teknologi multimedia yang sekarang berkembang pesat di seluruh dunia harus ditolak, sergah dia.
Baik Anton maupun Surya sepakat bahwa Pansus RUU Penyiaran sebenarnya tidak memahami permasalahan lembaga penyiaran. Pansus kurang memiliki komunikasi yang baik dengan para pelakunya. Sementara ketika ditanya mengenai sikap ATVSI jika RUU tersebut tetap disahkan, Anton menolak menjawab.
Namun, ia yakin DPR akan memberi kesempatan kepada berbagai pihak untuk mencapai kesepakatan bersama. Karena itu, ia menegaskan, ATVSI tidak akan mengambil sikap seperti PRSSNI yang berencana memboikot penyiaran di lembaga DPR.
Pada saat yang sama, PRSSNI sedang melakukan demonstrasi di depan Gedung MPR/DPR untuk menolak disahkannya RUU tersebut. (Yudopramono)