TEMPO Interaktif, Jayapura - Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) mendesak adanya dialog nasional antara Jakarta-Papua untuk segera dilaksanakan. Wakil Komisi A DPRP, Weynand Watori mengatakan, keinginan masyarakat Papua untuk berdialog dengan pemerintah pusat adalah hal yang wajar dan tak perlu ditakutkan.
Sebab wacana dialog nasional antara Jakarta-Papua, bukan muncul tahun ini saja, melainkan sudah lebih dari enam tahun lalu, saat Presiden SBY masih menjabat sebagai Menkopolhukam. “Dialog ini bukan suatu yang dipaksakan, tapi merupakan suatu kebutuhan. Kita bangun pagi juga biasa bicara dengan keluarga, dan ini bagian dari dialog. Sangatlah lucu, bagaimana di sebuah negara demokrasi, tidak ada dialog,” katanya di Jayapura, Rabu (27/1).
Sementara permintaan dialog orang Papua kepada Jakarta, adalah permintaan dialog resmi. Sebab saat Kongres Papua, sekitar tahun 1999-2000 sudah selesai dan proposal untuk agenda dialog itu telah diajukan kepada pemerintah pusat. “Saya rasa Presiden SBY mengetahui secara jelas tentang dialog ini. Sebab saat itu permintaan agenda dialog secara resmi antara Jakarta-Papua, telah disampaikan kepada pemerintah Indonesia lewat Menkopolhukam yang saat itu adalah SBY,” jelasnya.
Alasan permintaan dialog, kata Weynand juga dikarenakan banyak masalah besar antara Jakarta dan Papua. Misalnya saja, begitu UU Otsus diberikan, semua orang mengatakan persoalan masalah Papua telah selesai. Padahal banyak perbedaan disini. “Orang Papua melihat bahwa pemberian Otsus adalah win-win solution, tapi pemerintah bilang ini adalah final solution. Jadi ada dua persepsi,” katanya.
Maka, karena dari sudut awalnya sudah berbeda, maka makin jauh masalah ini makin melebar. “Perbedaan itu dan ini yang menyebabkan ada begitu banyak masalah di Papua, termasuk didalamnya masalah HAM dan Otsus yang hingga saat ini tidak memberikan apa-apa untuk orang asli Papua. Saya rasa ini adalah konsekwensi dari berdemokrasi, yakni membangun dialog,” ungkapnya.
DPRP, lanjut Weynand akan mendorong maslaaah ini ke pemerintah pusat, sebab saat ini dialog Jakarta-Papua menjadi sebuah kebutuhan yang mendesak dan harus segera dilaksanakan. “Kami sangat mendukung, karena banyak problem yang masih tersumbat yang tidak pernah kita diskusikan. Sampai sekarang solusi hanya dari satu arah, monolog dari Jakarta. Misalnya saja peraturan ini keluar, PP ini keluar, Inpres lagi keluar dan semua keputusan ini diperuntukkan bagi Papua. Padahal di Papua pun telah diberlakukan UU Otsus. Kapan orang Papua dapat bicara dan Jakarta juga bisa dengar. Ini bagian dari demokrasi,” ujarnya.
Sebenarnya, saat ini yang harus kita tolong adalah Jakarta, bahwa dialog bukan suatu yang harus ditakutkan. “Dialog adalah hal biasa. Mari kita duduk dan bicara untuk menyelesaikan persoalan. Soal nanti dalam dialog ada yang bicara sesuatu, yang membuat telinga kita memerah, itu kan hal yang wajar. Tapi kan minimal kita mendengar orang lain untuk bicara,” katanya.
Weynand juga menyayangkan jika sampai pemerintah Jakarta tak mendengarkan aspirasi orang Papua, jangan salahkan jika nanti banyak orang Papua yang bicara di luar negeri. “Jangan kaget, jika tiba-tiba ada diplomasi luar negeri. Ini karena pemerintah tidak memberikan ruang demokrasi untuk bicara. Maka lebih baik dibicarakan di dalam terlebih dahulu, daripada bicara ke orang lain,” katanya sambil memberikan perumpamaan.
Sementara dari tahapan dialog itu, pasti ada tahapan negosiasi, nantinya juga dapat dipilih mana yang bisa dilaksanakan dan mana yang tidak dilaksanakan. “Bagaimana kita mau negosiasi, dialog saja tidak pernah ada. Jika ini dibiarkan, bisa menumpuk persoalan dan meledak suatu saat. Lagipula pemerintah Jakarta bisa melakukan dialog dengan Aceh di Helsinsky untuk bicara, kenapa hal ini tidak bisa dilakukan untuk orang Papua,” jelasnya.
Permintaan dialog nasional juga diprediksi oleh sejumlah aktivis HAM dan demokrasi di Papua akan terus meningkat pada tahun ini. Menurut Ketua Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP) Latifah Anum Siregar, salah satu alasan dasarnya adalah Otsus di Papua belum menyentuh masyarakat asli. “Ini diperkuat jika pemerintah Jakarta masih menyelesaikan masalah Papua dengan pendekatan militer, kemudian proses penegakan hukum masih digunakan sepihak dan tidak adil serta pemerintah masih menganggap persoalan Papua, hanya dikarenakan masalah kesejahteraan saja, maka permintaan dialog nasional tahun ini kan terus meningkat,” katanya ditemui di kantornya di wilayah Padang Bulan, Abepura, Rabu (27/1).
CUNDING LEVI