Kepada Tempo News Room Bagir menyatakan hal itu didasarkan pada kententuan baru UUD 45. Isinya: untuk memberikan abolisi dan amnesti, Presiden harus meminta pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). “Maka saya menulis surat kepada presiden agar beliau berhubungan dengan DPR, karena sesuai dengan ketentuan UUD,” ujarnya saat ditemui di ruang kerjanya di Gedung MA, Jakarta, Rabu (12/12).
Namun, Bagir tak menyebutkan kapan surat tersebut di kirim. Ketentuan mengenai abolisi dan amnesti, kata dia, telah tertuang dalam pasal 14 amandemen pertama UUD 1945 yang menyebutkan bahwa abolisi dan amnesti merupakan hak prerogatif presiden, dengan pertimbangan DPR. Seperti telah diberitakan sebelumnya, Presiden Megawati Soekarnoputri, melalui Sekretaris Negara, Bambang Kesowo telah berkirim surat kepada MA.
Permintaan pertimbangan hukum, lanjut Bagir didasarkan pada UU tentang Amnesti dan Abolisi Nomor 11 Darurat Tahun 1954 yang menyebutkan perlunya pertimbangan hukum ke MA melalui Menteri Kehakiman. Sebagai kepala pemerintahan, presiden, ujar Bagir, memiliki hak prerogatif untuk memberikan abolisi atau amnesti kepada seseorang. Namun, lanjut dia, presiden perlu bersikap hati-hati, karena kasus Theys dan kawan-kawannya, yakni Sekjen PDP Thaha Alhamid, Pendeta Herman Awom, Don A.L. Flasi dan John Mambor sedang dalam proses persidangan di Pengadilan Negeri Jayapura. (Ira Kartika M.B.)