TEMPO Interaktif, Jakarta - Ayat yang mengatur tembakau hilang dari Undang-undang tentang Kesehatan yang telah disahkan dalam sidang Paripurna DPR bersama pemerintah pertengahan September lalu. Ayat dalam pasal 113 yang mengatur pengamanan zat adiktif tersebut, raib sebelum undang-undang ditandatangani oleh presiden dan dicatat dalam lembar negara di Sekretariat Negara.
Ahli Kesehatan Kartono Muhammad dan anggota Panitia Khusus Rancangan Undang-undang Kesehatan Hakim Sorimuda Pohan baru mengetahui hal tersebut setelah mendapatkan informasi dari beberapa rekan yang mengawal proses pembahasan. "Saya datang ke sekretariat DPR, benar ayat 2 hilang," kata Hakim dalam diskusi "Korupsi" Ayat Undang-undang Kesehatan di Hotel Soyfan, Rabu (7/10).
Ayat 2 yang hilang itu berbunyi "Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/ atau masyarakat sekelilingnya.". Namun, dalam bagian penjelasan pasal 113 masih terdiri dari tiga ayat termasuk penjelasan tentang ayat 2.
Hakim semakin yakin ayat itu hilang setelah datang ke sekretariat DPR dan melihat langsung undang-undang yang sudah dilengkapi lembar putih berlogo emas DPR. "Drafnya sudah final karena sampul luarnya berlogo emas DPR-RI," tambah Hakim. Sekretariat DPR mengaku tidak tahu menahu adanya perubahan tersebut, katanya perubahan terjadi setelah diserahkan kepada Sekretariat Negara.
Menurut Hakim, oknum yang mencatut ayat tersebut bisa dari pihak legislatif maupun eksekutif. Ia pun telah menanyakan perubahan itu kepada Departemen Kesehatan namun mereka pun mengaku tak tahu menahu. Departemen, tambahnya, tidak keberatan apabila ayat itu dikembalikan. Pernyataan itu mengindikasikan sudah ada kesepakatan menghilangkan ayat, jika tidak penghilangan itu seharusnya dianggap sebagai kelalaian.
Baca juga:
Ada beberapa kemungkinan ayat bisa hilang, pertama faktor ketidaksengajaan yang terjadi dalam proses transkrip rekaman rapat pembahasan undang-undang. Kedua, penghilangan itu kemungkinan disengaja sehingga harus ada upaya hukum karena merupakan bentuk pelanggaran konstitusional. Undang-undang tersebut sudah melalui pengesahan di sidang parupurna antara DPR dan pemerintah, sehingga sudah berlaku dan mengikat semua warga negara.
Penghilangan ayat itu termasuk tindakan pidana karena melanggar Undang-undnag Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan apabila dilakukan oleh internal DPR merupakan bentuk pelanggaran kode etik sebagai perilaku yang tercela. Kejahatan ini harus diinvestigasi dan diusut tuntas dan pelakunya harus bertanggungjawab.
Kartono Muhammad menambahkan meski ayat itu dikembalikan, tetapi kejahatan sudah dilakukan sehingga harus dipertanggungjawabkan. Seperti halnya tindakan pidana korupsi, meski uang hasil korupsi sudah dikembalikan tetapi kejahatannya tetap harus dimintai tanggungjawab. "Jangan sampai jadi kebiasaan, undang-undang yang sudah disahkan di paripurna masih diotak-atik lagi, stop kebiasaan ini," tegasnya.
Siapapun pelakkunya harus dilaporkan ke Kepolisian dan diadili. Kasus ini harus diungkap kepada masyarakat luas karena telah terjadi kejahatan legislasi. Masyarakat harus terus memantau proses legislasi agar hal itu tak terjadi lagi. Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Tulus Abadi mengatakan, kasus ini menjadi preseden buruk, baru kali ini terungkap ada penghilangan ayat. "Kebetulan aja kali ini terpantau, jangan-jangan sebelumnya juga banyak terjadi, ayat bisa hilang atau bertambah," katanya.
Ada tiga alternatif yang akan ditempuh yakni melaporkan kepada Kepolisian atas hilangnya ayat dalam dokumen negara. Kemudian, dilakukan gugatan kepada pengadilan atas kasus tersebut, dan terakhir mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi untuk mengembalikan ayat tersebut. Namun, menurut Peneliti Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch Abdullah Dahlan, uji materi maupun uji legislasi tidak perlu dilakukan tetapi ayat tersebut otomatis dikembalikan saja karena sudah disahkan dalam sidang paripurna. "Kalau uji materi atau legislasi jadi membenarkan kejahatan itu, seolah telah melalui proses formal," katanya.
Ia menduga penghilangan ayat tersebut terjadi di DPR, karena setelah disahkan di paripurna kemudian dirapikan redaksionalnya langsung diserahkan ke sekretariat negara dan tidak perlu dikembalikan ke DPR lagi. Apalagi, undang-undang yang ada di sekeretariat DPR masih berlogo DPR-RI belum berlogo Garuda Indonesia karena belum mendapatkan nomor lembar negara dari sekretariat negara.
AQIDA SWAMURTI