TEMPO.CO, Jakarta - Dewan Guru Besar Universitas Indonesia (DGB UI) menilai telah terjadi krisis konstitusi di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) setelah Badan Legislasi DPR menyelesaikan pembahasan Rancangan Undang-Undang atau RUU Pilkada yang menganulir putusan Mahkamah Konstitusi soal pencalonan di pilkada. Menurut dia, Dewan Perwakilan Rakyat telah membangkang putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang bersifat final dan mengikat, baik bagi sesama maupun semua lembaga tinggi negara.
Anggota DGB UI Indang Trihandini berujar DPR justru mempertontonkan sikap arogan dan vulgar yang berkhianat pada konstitusi. Sikap itu bisa dilihat saat mereka merevisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah dengan mengabaikan putusan MK No. 60/PUU-XXII/2024 sehari setelah diputuskan.
"Nyata-nyata DPR sangat menciderai sikap kenegarawanan yang dituntut dari para wakil rakyat," kata Indang melalui keterangan tertulis pada Rabu, 21 Agustus 2024.
DGB UI khawatir sikap itu memunculkan otoritarianisme seperti era kolonialisme dan penindasan yang pernah dialami Indonesia pada masa lalu. Sikap anggota DPR itu, kata DGB UI merupakan perwujudan kolusi dan nepotisme pada 1998. Saat itu, mahasiswa dan masyarakat berhasil melawan hingga melahirkan reformasi.
Oleh karena itu, DGB UI meminta DPR menghentikan revisi UU Pilkada, bertindak arif, adil, dan bijaksana dengan menjunjung nilai-nilai kenegarawanan. DGB UI juga meminta KPU untuk segera melaksanakan putusan MK No. 60 dan No. 70 tahun 2024 demi terwujudnya kedaulatan rakyat berdasarkan Pancasila.
Dianulirnya putusan MK soal syarat usia minimum calon kepala daerah dapat menjadi karpet merah untuk putra bungsu Presiden Joko Widodo atau Jokowi, yakni Kaesang Pangarep yang digadang-gadang akan maju pada Pilkada 2024. Kaesang dapat memenuhi syarat tersebut karena pelantikan kepala daerah terpilih hasil Pilkada 2024 akan dilakukan pada 2025, setelah dirinya berulang tahun ke-30 pada 25 Desember 2024 nanti.
Sementara itu, Baleg DPR memutuskan pasal 40 ayat 1 UU Pilkada yang mengatur threshold pencalonan 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah pileg tetap diberlakukan bagi partai-partai politik yang memiliki kursi parlemen. Padahal, justru pasal itu lah yang dirombak MK dalam putusannya kemarin. Hal ini memperbesar peluang terwujudnya pasangan calon tunggal di banyak pilkada yang disebut sejumlah pengamat buruk bagi demokrasi.
Pilihan Editor: Kampus-Kampus di Yogyakarta Kecam DPR yang Anulir Putusan MK untuk Jalan Anak Jokowi di Pilkada