INFO NASIONAL – Badan Pengawas Obat dan Makanan atau BPOM mulai menggencarkan sosialiasi pelabelan bisphenol-A (BPA) pada air minum dalam kemasan. Giat ini sebagai impimentasi diterbitkan Peraturan BPOM Nomor 6 Tahun 2024 pada April silam.
Dalam sebuah sosialisasi di Medan, pakar dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, Evi Mutia, menjelaskan bahwa kandungan BPA pada plastik disebut dapat memicu gangguan reproduksi, baik pada pria maupun wanita.
“Dampak negatif BPA bisa mengganggu sistem reproduksi pada pria maupun wanita, mempengaruhi fertilitas, hingga berisiko terhadap kanker prostat pada pria,” kata Evi dalam sarasehan bertajuk “Upaya Perlindungan Kesehatan Masyarakat Melalui Regulasi Pelabelan Bisphenol-A (BPA) pada AMDK”.
Menurut Evi, gangguan tersebut dapat berupa penurunan libido, sulit ejakulasi, diabetes, gangguan ginjal, kanker payudara, hingga memicu perkembangan kesehatan mental autism spectrum disorder.
Penjabaran Evi sejatinya telah dipaparkan oleh berbagai penelitian. Salah satunya hasil studi yang dilakukan di Ewha Womans University Mokdong Hospital Korea pada September-November 2014.
Hasil penelitian yang melibatkan 307 wanita usia 30-49 tahun ini, menemukan bahwa paparan BPA dapat mempengaruhi infertilitas dan DOR (Diminished Ovarian Reserve). Tercatat, kadar BPA pada urin lebih tinggi (1,89±2,17 ug/g) pada grup responden yang terdiagnosa DOR dengan hormon anti-mullerian yang lebih rendah. Untuk diketahui, hormon tersebut berperan dalam pembentukan folikel yang melepaskan sel telur.
Adapun, berdasarkan analisis regresi logistik, terdapat peningkatan peluang infertilitas pada kelompok paparan BPA tinggi dan odds ratio (OR, 4,248). Hal ini berarti, kelompok dengan paparan BPA tinggi, memiliki peluang 4,25 kali lebih beresiko mengalami infertilitas pada wanita.
Risiko yang ditimbulkan BPA ternyata juga dialami kaum pria. Hipotesa ini berdasarkan studi kohort di China pada 2004-2008 yang diikuti responden 218 pria. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan kadar BPA pada urin mempengaruhi penurunan konsentrasi sperma, penurunan jumlah sperma, penurunan vitalitas sperma dan penurunan motilitas sperma.
Pada kasus ini, ditemukan bahwa BPA bertindak sebagai androgen reseptor antagonis yang mengganggu aktivitas normal androgen reseptor. Hal ini berkaitan dengan pembentukan sperma (spermatogenesis) yang hasilnya mengurangi biosintesis testosteron. Padahal, testosteron memiliki peran penting dalam pembentukan dan sperma.
Studi kohort menyimpulkan, pria dengan urin yang mengandung BPA memiliki risiko tiga kali lebih banyak dalam penurunan konsentrasi dan vitalitas sperma, dan empat kali lebih berisiko menurunkan jumlah sperma.
Selanjutnya, dalam riset yang dijalankan peneliti di Hohai University, China, pada 2019, dijumpai bahwa paparan dengan konsentrasi BPA dalam serum darah dengan konsentrasi (1.53–2.22 μg/L) terutama pada tahap perkembangan janin, menghasilkan kondisi ‘feminisasi’ janin fetus, atropi pada epididymal, perubahan parameter sperma, dan penurunan level testosteron.
Bahkan, dalam studi oleh Department of Biochemistry and Molecular Biology, Faculty of Science, University of Buea di Kamerun pada 2014, mendapati relasi BPA dengan kesulitan ejakulasi pada pria, maupun terjadi penurunan libido.
Menurut riset tersebut, dampak paparan BPA dirasakan oleh pria muda di kondisi pubertas. Disebutkan, BPA dapat memberikan efek dalam mengubah parameter sperma. BPA juga menginduksi kondisi tekanan oksidatif pada testis dan epididimis, dengan menghambat senyawa antioksidan dan menstimulasi senyawa lipid peroksida.
Studi epidemiologi juga menunjukan adanya indikasi bahwa BPA mengubah fungsi reproduksi pria. Disimpulkan, pria yang terpapar BPA menunjukkan penurunan libido dan kesulitan ejakulasi maupun ereksi.
"Para peneliti dan pakar internasional mengingatkan risiko kesehatan yang ditimbulkan paparan BPA cukup banyak sehingga perlu keseriusan mengatasinya," kata Evi. Karena itu, ia mendorong semua pihak, terlebih produsen AMDK memiliki kesadaran dan bertanggung jawab pada konsumen.
Senada, Ahli farmakologi dari Universitas Airlangga, Profesor Junaidi Khotib, menyebut bahwa produsen memiliki tanggung jawab dalam menjamin keamanan dan mutu produk yang dihasilkan.
Ia menawarkan tiga langkah yang dapat dilakukan. Pertama, meningkatkan kesadaran masyarakat terkait memilih produk makanan atau minuman yang aman untuk tubuhnya. Kedua, melakukan pendampingan pada produsen dalam meningkatkan costumer awareness termasuk penyimpanan pada distribusi dalam upaya menjaga keamanan produk dari peningkatan migrasi BPA dari kemasannya.
“Juga dibutuhkan komitmen produsen dalam menjamin keamanan produk melalui studi pharmacovigilance yang intensif terkait dengan migrasi atau pelepasan BPA dari kemasan dan dampaknya bagi kesehatan,” kata Prof. Junaidi. (*)