INFO NASIONAL – Dokter Dicky Budiman mendorong produsen air minum dalam kemasan (AMDK) menaati Peraturan BPOM Nomor 6 Tahun 2024 terkait kewajiban memberi label BPA pada produk yang jelas-jelas mengandung Bisphenol-A.
Baca juga:
Badan Pengawas Obat dan Makanan atau BPOM telah merilis regulasi tersebut pada 1 April 2024. bahwa AMDK wajib menyesuaikan dengan ketentuan ini paling lama empat tahun.
Menurut dr. Dicky, upaya mencari bahan alternatif sudah selayaknya dilakukan mengingat telah banyak penelitian maupun jurnal yang mengungkap berbagai efek samping BPA pada kesehatan manusia.
“Sebagian besar penelitian yang menyoroti bahaya BPA ini umumnya fokus pada kemasan pangan dan minuman, terutama dikaitkan dengan paparan panas atau asam,” ujar epedimolog ini melalui jawaban tertulis di awal Agustus 2024.
Ia mengimbuhkan, bukti ilmiah menunjukkan bahwa BPA merupakan disruptor endocrine atau pengganggu endokrin. BPA Bisa meniru hormon, khususnya estrogen dalam tubuh dan mengganggu fungsi hormon alami. “Ini yang berpotensi mengganggu perkembangan dan reproduksi manusia,” ujarnya.
Berbagai penelitian lainnya juga menemukan kaitan erat BPA sebagai pemicu kanker hingga diabetes. “Risiko-risiko tersebut atau temuan-temuan tersebut ditemukan melalui penelitian secara epidemiologi maupun studi laboratorium,” ucap dr. Dicky.
Ia menyebutkan salah satu jurnal yang dapat menjadi acuan adalah An insight into bisphenol A, food exposure and its adverse effects on health: A review yang dipublikasikan pada November 2022. Jurnal ini dibuat oleh tim yang terdiri dari Muhammad Faisal Manzoor, Tayyaba Tariq, Birjees Fatima, Amna Sahar, Farwa Tariq, Seemal Munir, Sipper Khan, Muhammad Modassar Ali Nawaz Ranjha, Aysha Sameen, Xin-An Zeng, dan Salam A. Ibrahim.
Jurnal tersebut memuat lengkap tentang BPA. Mulai dari sejarah kemunculannya, penggunaan dalam industri, efek samping dari hasil penelitian, hingga alternatif sebagai substitusi BPA.
Bahkan di dalam jurnal disebutkan bahwa paparan BPA dapat masuk ke dalam tubuh melalui berbagai jalur seperti paparan kulit dan oral atau melalui inhalasi. Jalur utama paparan adalah paparan melalui makanan, termasuk konsumsi makanan laut atau ikan air tawar yang terkontaminasi BPA, makanan segar dari wilayah yang terpolusi, konsumsi makanan yang dikemas dalam plastik dan kaleng, serta minum air yang terkontaminasi.
Jalur kedua yang paling utama adalah paparan kulit. Kontak langsung dengan kertas (terutama kertas thermal), mainan, dan perangkat medis secara proporsional meningkatkan potensi BPA terhadap kulit. Sedangkan inhalasi adalah jalur paparan ketiga yang paling penting melalui uap, kabut, debu, dan gas yang mengandung BPA.
Karena itu, dr. Dicky mengimbau para produsen sebaiknya mencari alternatif sebagai pengganti BPA. “Industri harus terus mencari alternatif yang lebih aman dan ramah lingkungan yang sebetulnya untuk menggantikan penggunaan BPA ini,” kata dia.
Sebenarnya upaya mencari bahan alternatif telah dilakukan oleh peneliti. Misalnya Bisphenol-S atau BPS dan Bisphenol-F atau BPF. Namun, penelitian awal juga menunjukkan BPS dan BPF juga berpotensi memiliki efek kesehatan yang serupa dengan BPA.
Kemudian muncul lagi alternatif lain seperti polietilen, jenis plastik ini juga sering digunakan, atau bahan berbasis bio. “Yang terakhir ini yang sebetulnya lebih disarankan, karena umumnya kalau bahan berbasis bio berasal dari sumber daya terbarukan seperti jagung. Jadi lebih ramah lingkungan dan tidak mengandung BPA,” tutur dr. Dicky yang juga jadi peneliti di Global Health Security, Risk Communication, Leadership & Ethic Public Health.
Ia menegaskan, mengingat efek negatif yang dapat ditimbulkan oleh BPA, pada tahap awal mungkin produsen dapat memasang label peringatan bahaya zat tersebut sesuai regulasi yang telah ditetapkan BPOM.
Namun, upaya menghadirkan produk yang aman bagi masyarakat tidak boleh berhenti di tahap tersebut. “Sekali lagi, industri harus mencari alternatif yang lebih aman dan ramah lingkungan yang sebetulnya untuk menggantikan penggunaan BPA,” kata dia. (*)