INFO NASIONAL – Regulasi pelabelan BPA (Bisphenol-A) pada air minum dalam kemasan (AMDK) masih menuai polemik. Beberapa kalangan memandang ketentuan itu tidak diperlukan karena sudah ada aturan ambang batas aman.
Baca juga:
Ahli farmakologi dari Universitas Airlangga, Profesor Junaidi Khotib, menyatakan Badan Pengawasan Obat dan Minuman atau BPOM memang telah menetapkan ambang batas senyawa BPA yang terlepas dari galon tidak lebih dari 0,6 ppm.
Namun, angka itu menurutnya masih cukup tinggi jika membandingkan dengan negara Eropa. European Food Safety Authority (EFSA) menetapkan batas senyawa BPA yang terlepas kurang dari 0,05 ppm.
Selain itu, paparan BPA yang dapat ditoleransi oleh tubuh sebenarnya kurang dari 0,0002 mikrogram per hari. “Ambang batas yang lebih rendah dapat menjadikan makanan atau minuman lebih aman,” katanya.
Junaidi melanjutkan, ambang batas 0,6 ppm juga bisa berubah karena kondisi tertentu seperti paparan sinar matahari. Berdasarkan pemeriksaan sebanyak tiga kali yang dilakukan sepanjang 2021 sampai 2022 terhadap fasilitas produksi AMDK, didapatkan kadar BPA yang bermigrasi pada air minum lebih dari 0,6 ppm mengalami peningkatan berturut turut. Dari 3,13 persen menjadi 3,45 persen, dan 4,58 persen.
Demikian pula, hasil pengujian migrasi BPA sebesar 0,05-0,6 ppm dari kemasan polikarbonat juga mengalami peningkatan beruntun dari 28,12 persen, 49,56 persen, dan 50,98 persen.
Sedangkan hasil uji pada sarana distribusi dan peredaran, hasilnya meningkat dari 0 persen menjadi 12,99 persen; dan hasil uji migrasi 0,05-0,6 ppm meningkat berturut turut dari 30,00 persen, 33,33 persen, hingga 41,56 persen.
“Dengan demikian siklus penggunaan kemasan isi ulang galon polikarbonat juga mempengaruhi tingginya kadar BPA,” kata Junaidi.
Berbagai studi juga menunjukkan bahwa saat air minum yang mengandung BPA masuk ke dalam tubuh maka akan berkorelasi dengan kadarnya dalam darah dan urine. Artinya, saat seseorang mengonsumsi air minum yang mengandung BPA secara terus menerus, maka peluang terjadinya akumulasi ataupun peningkatan kadar akan terjadi.
Dari penelitian epidemiologi yang telah dilaporkan peneliti pada beberapa negara menunjukkan bahwa kelompok usia yang paling rentan terhadap paparan BPA adalah anak usia pertumbuhan.
“Ini dapat dijelaskan bahwa pada usia tersebut kebutuhan hormon pertumbuhan dan ketersediaan endokrin lainnya dalam jumlah yang tercukupi. Untuk itu kewaspadaan juga harus diwaspadai oleh ibu hamil atau menyusui. Ini juga seiring dengan penelitian pada hewan bunting ketika diberikan paparan BPA dalam jangka panjang akan mempengaruhi pertumbuhan anak dan perkembangan mental anak yang dilahirkan,” kata Junaidi.
Junaidi mengimbau kepada masyarakat untuk bijak dalam memilih makanan dan minuman sehari-hari. Ia juga mendorong produsen memiliki kepedulian terhadap kesehatan konsumen. “Tanggung jawab mereka memberikan informasi secara lengkap bahwa produknya mengandung polikarbonat yang dapat melepaskan BPA,” ucapnya.
Ia juga sangat mendukung terbitnya regulasi dari BPOM. Hal ini membuktikan keberpihakan pemerintah kepada masyarakat sebagai pengguna produk AMDK, sekaligus upaya promotif kesehatan masyarakat yang berdampak pada peningkatan kualitas hidup.
“Peraturan ini juga menjadi media yang baik dalam meningkatkan pengetahuan masyarakat terkait dengan produk yang digunakan. Masyarakat dituntut dapat memilih produk yang bijak untuk kesehatannya,” kata dia. (*)