TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid menegaskan pembunuhan pilot Selandia Baru, Glen Malcolm Conning adalah pelanggaran berat hukum kemanusiaan internasional. Peristiwa tersebut terjadi di Distrik Alama, Mimika, Papua Tengah pada Senin, 5 Agustus 2024 lalu.
"Pembunuhan di luar hukum tersebut merupakan pelanggaran berat hukum kemanusiaan internasional," ujar Usman melalui keterangan pers pada Rabu 7 Agustus 2024.
Usman kemudian mendesak pihak berwenang Indonesia untuk menyeret pelaku ke pengadilan. Serta, Usman meminta pembunuhan di luar hukum itu harus diadili serta pemerintah harus segera mengambil langkah untuk mencegah agar tidak ada lagi pembunuhan kepada warga sipil.
"Kami mendesak pihak berwenang Indonesia segera menyelidiki kejahatan ini guna membawa pelaku ke pengadilan, termasuk diawali dengan eksaminasi forensik dan otopsi jenazah korban. Sangat penting bahwa mereka yang bertanggung jawab atas pembunuhan di luar hukum ini diadili dan harus segera mengambil langkah-langkah untuk mencegah insiden serupa di masa depan,” kata Usman.
Usman menilai, perlindungan terhadap warga sipil adalah prinsip fundamental yang harus dijunjung tinggi. Selain itu, Usman menegaskan bahwa pembunuhan warga sipil dengan sengaja merupakan tindakan yang tidak dapat diterima, serta dia meminta semua pihak yang terlibat konflik berkepanjangan di Papua itu harus menghindari jatuhnya korban jiwa dari warga sipil.
“Perlindungan warga sipil adalah prinsip fundamental yang harus selalu dijunjung tinggi, dan penargetan serta pembunuhan terhadap warga sipil secara sengaja tidak dapat diterima. Semua pihak yang terlibat dalam konflik berkepanjangan di Papua harus menghindari pembunuhan terhadap warga sipil.
Atas kematian pilot asal Selandia Baru itu, Usman mengucapkan belasungkawa kepada keluarga dan sahabat mendiang Glen Malcolm Conning.
“Kami menyampaikan belasungkawa yang sedalam-dalamnya kepada keluarga dan sahabat Glen Malcolm Conning dalam masa sulit ini," kata Usman.
Sebelumnya, menurut laporan media yang mengutip keterangan Satuan Tugas Operasi Damai Cartenz, Glen Malcolm Conning, seorang pilot Selandia Baru yang bekerja di Intan Angkasa Air Service, dibunuh oleh kelompok bersenjata saat helikopternya mendarat di Distrik Alama, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua Tengah, pada 5 Agustus 2024. Setelah mendarat, Conning dan penumpangnya dicegat oleh kelompok bersenjata.
Menurut keterangan Satgas, Conning lalu dibunuh, dan tubuhnya kemudian dibawa ke helikopter dan kemudian dibakar bersama dengan helikopter tersebut. Sedangkan sumber kredibel Amnesty International Indonesia membantah keterangan bahwa tubuh Conning dibakar, dengan menunjukkan sejumlah foto bahwa jenazah korban masih utuh dan helikopter juga tidak dibakar.
Amnesty International Indonesia mencatat lima kasus penembakan terhadap pesawat sipil yang diduga dilakukan oleh kelompok bersenjata pro-kemerdekaan di Papua dari 16 Februari hingga 2 Agustus 2024. Jumlah kasus tertinggi terjadi pada bulan Februari, dengan tiga insiden.
Menurut laporan media, kelompok bersenjata pro-kemerdekaan Papua (TPNPB-OPM) mengklaim bahwa tentara Indonesia sering menggunakan pesawat sipil untuk mengangkut pasukan dan perlengkapan militer ke zona konflik di Papua. Akibatnya, pesawat sipil yang memasuki area tersebut menjadi sasaran serangan kelompok tersebut.
Warga sipil di Papua, termasuk Orang Asli Papua, telah lama menderita melalui operasi militer yang telah mengakibatkan pembunuhan di luar hukum oleh kelompok bersenjata negara dan non-negara, penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya, pengungsi internal, dan pelanggaran hak asasi manusia lainnya. Antara 1 Januari 2018 dan 5 Agustus 2024, Amnesty International Indonesia mencatat 130 pembunuhan di luar hukum dan setidaknya 240 warga sipil tewas.
Sedangkan warga negara Selandia Baru lainnya, Phillip Mehrtens, telah disandera sejak 7 Februari 2023 oleh faksi bersenjata Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB), yang dipimpin oleh Egianus Kogoya. Pilot Susi Air ini disandera setelah mendaratkan pesawat komersial tersebut di daerah terpencil pegunungan Nduga. Kelompok tersebut mengancam akan menembak warga negara Selandia Baru itu jika pembicaraan mengenai kemerdekaan Papua tidak dimulai.
Sejak penyanderaan tersebut, pemerintah telah mengerahkan lebih banyak pasukan keamanan. Dari Februari 2023 hingga April 2024, pemerintah telah mengerahkan 6.773 personel militer dan polisi ke Tanah Papua.
Penyanderaan melanggar prinsip-prinsip kemanusiaan dasar dan perjanjian internasional, termasuk Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949, yang melindungi warga sipil dan melarang penyiksaan serta perlakuan tidak manusiawi. Ini juga bertentangan dengan Konvensi 1979 tentang Pengambilan Sandera, yang mengkriminalisasi tindakan tersebut oleh aktor negara dan non-negara. Selain itu, Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) melindungi hak individu atas kebebasan, keamanan, dan perlindungan dari perlakuan tidak manusiawi.
Pilihan Editor: Tim Gabungan Tangkap Anggota OPM di Supiori Papua yang Diduga Mata-mata
MOCHAMAD FIRLY FAJRIAN
Catatan Redaksi:
Judul berita ini dikoreksi pada Kamis, 8 Agustus 2024, pukul 11.53 WIB. Koreksi dilakukan dengan menghilangkan penyebutan TPNPB-OPM. Penyebutan nama TPNPB-OPM juga dilakukan di paragraf pertama dan ketiga. Mohon maaf atas kesalahan ini. Terima kasih.