TEMPO.CO, Jakarta - Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) Trenggalek menolak keputusan Pengurus Pusat Muhammadiyah yang menerima Izin Pengelolaan Tambang (IUP) dari pemerintah. Mereka menilai kegiatan tambang ekstraktif memiliki banyak mudarat.
"Menolak keras keputusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang telah menerima tawaran Izin Usaha Pertambangan (IUP) dari pemerintah yang didasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2024," bunyi keterangan tertulis yang diterima Tempo, pada Ahad 4 Agustus 2024.
Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah Trenggalek, Arifin, dalam deklarasinya meminta PP Muhammadiyah untuk membatalkan keputusan penerimaan izin tambang tersebut.
"Meminta Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk membatalkan keputusan penerimaan Izin Usaha Pertambangan (IUP) tersebut karena kegiatan tambang ekstraktif memiliki banyak mudharat," kata Arifin saat memimpin deklarasi, pada Ahad, 4 Agustus 2024.
Dia menyatakan bahwa tambang ekstraktif dapat menjadi penyebab perubahan iklim global secara masif, adanya kerusakan lingkungan, serta dapat menurunkan kualitas air, dan memicu berbagai macam konflik sosial bagi masyarakat di area tambang.
Selain itu, Arifin menyebut keputusan PP Muhammadiyah menerima izin tambang itu menyakiti hati dan mencederai perjuangan kelompok internal maupun eksternal Muhammadiyah yang hendak mempertahankan ruang hidup dari aktivitas pertambangan.
Deklarasi penolakan itu terdiri dari Pemuda Muhammadiyah, Nasyiatul Aisyiyah, Ikatan Pelajar Muhammadiyah, Hizbul Wathan, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, yang tergabung dalam AMM Trenggalek.
Sebelumnya, PP Muhammadiyah telah memutuskan untuk menerima izin usaha pertambangan atau IUP secara resmi usai konsolidasi nasional yang diadakan pada Sabtu dan Ahad, 27-28 Juli 2024 di Yogyakarta.
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir mengungkapkan alasan Muhammadiyah menerima izin itu. Setelah kajian ilmu dalam agama Islam selama dua bulan penuh, Haedar mengatakan mayoritas Muhammadiyah memilih untuk menerima izin tambang.
“Kami melihat nilai positif tambang itu seperti sebuah kehidupan, persis seperti itu juga pro kontranya, bukan hanya soal tambang, tapi dunia politik, ekonomi, sosial budaya juga seperti itu dinamikanya,” kata Haedar.
MOCHAMAD FIRLY FAJRIAN
Pilihan Editor: Pakar Politik Nilai Fenomena Kotak Kosong dalam Pilkada Jadi Indikasi Kemunduran Demokrasi