Mereka yang khusus datang dari kabupaten yang berjarak sekitar 300 kilometer dari Banda Aceh itu, bahkan mengancam akan menduduki kantor tersebut, jika tuntutan mereka tak dipenuhi. Di Banda Aceh, mereka menginap di salah satu kantor lembaga swadaya masyarakat.
"Kedatangan kami hanya ingin mendapat kejelasan, apa kami bisa dapat rumah atau tidak," kata Agusta Mukhtar, koordinator aksi.
Menurut dia, Badan Reintegrasi Aceh tampaknya mengabaikan tuntutan korban konflik. Soalnya, mereka telah beberapa kali datang ke Banda Aceh menuntut hal sama. Aksi terakhir sebelumnya adalah pada Maret 2009 lalu. Mereka bahkan telah memberikan data korban konflik yang belum mempunyai rumah.
"Dulu telah dijanjikan kepada kami untuk dibangun rumah segera," ujar Agusta.
Berdasarkan data pihak korban, ada sebanyak 385 Kepala Korban (KK) korban konflik di sana yang belum mendapatkan rumah. Data itu merupakan keluhan atas pendataan yang dilakukan Badan Reintegrasi Aceh di daerah tersebut pada 2009.
Sementara itu, Ketua Badan Reintegrasi Aceh Pusat, Nur Djuli, menjelaskan, rumah untuk korban konflik hanya akan dibangun jika yang bersangkutan terdata. "Anda sekalian harus memastikan apakah sudah terdata, kalau belum complain di BRA wilayah. Karena BRA Pusat tak berwenang mendata," ujar Nur Djuli.
Nur Djuli mengatakan pihaknya sudah menindaklanjuti data yang diberikan korban konflik pada aksi sebelumnya. "Kami sudah membentuk tim verifikasi yang di SK-kan Bupati Aceh Tengah," kata dia.
Hasil verifikasi tim dari sejumlah unsur itu, hanya 86 KK yang berhak mendapat rumah dari data 385 KK yang disampaikan korban konflik. Korban kemudian menolak data verifikasi itu.
Karena perbedaan data tersebut, demontrasi sempat berlangsung tegang. Aksi berakhir setelah beberapa perwakilan korban dan pihak Badan Reintegrasi Aceh mengadakan pertemuan. Dalam pertemuan tersebut, Nur Djuli berjanji akan menverifikasi ulang data calon penerima rumah itu, dengan memperhatikan masukan dari para korban yang melakukan aksi tersebut.
ADI WARSIDI