Bertindak sebagai promotor dalam ujian terbuka itupun adalah, Prof Kaelan, Prof Lasio dan Prof Djoko Suryo. Bertindak selaku penguji, Prof. Dr. Safiii Maarif, Dr, Muntasar dan Juwono Sudarsono. “Malam ini saya akan belajar untuk mempersiapkan ujian besok,” kata Hendro dalam jumpa pers di kantor pusat UGM, Jumat, (24/7).
Menurut Hendropriyono, dalam disertasi setebal 400 halaman tersebut dia melakukan kajian dari filsafat bahasa. “Saya mengkaji dari filsafat bahasa, bagaimana orang (teroris) itu ngomong, dari situ saya kita tahu apa yang dipikirkannya,” kata Hendro.
Masalah terorisme menarik untuk dirinya. Dari definisinya saja, Hendro berpendapat tidak ada definisi yang jelas, apa arti terorisme. Dengan tidak adanya definisi jelas tersebut maka hingga saat ini sulit mencari solusi yang tepat untuk memerangi terorisme tersebut. Hal itu pula yang membuat dia gelisah. Karena itulah, kegelisahan itu dia bawa dalam ranah akademis.
Dia mengaku menyelesaikan disertasinya selama 1,5 tahun, dengan masa total studi selama tiga tahun. Hendro mengibaratkan terorisme seperti tokoh pewayangan Indonesia yaitu Raden Narasoma yang memiliki senjata Candra Birawa. Seperti itulah terorisme.
''Jadi ibarat pepatah, patah tumbuh hilang berganti. Itulah terorisme,” kata Hendro. Begitupula yang ada di Indonesia terorisme itu timbul tenggelam karena yang kita atasi hanya kaki-kakinya yang juga terdapat di seluruh dunia sementara otaknya tidak ada di negeri ini.
BERNADA RURIT