TEMPO.CO, Jakarta - Pelaksana Tugas Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kemendikbudristek, Tjitjik Sri Tjahjandarie, mengakui, masih terdapat kasus adanya ketidaksesuaian antara uang kuliah tunggal (UKT) yang harus dibayarkan dengan kemampuan ekonomi mahasiswa di sejumlah perguruan tinggi.
"Ikhlas enggak kalau, anaknya direktur misalnya di Kementerian Keuangan. Kemudian dia minta UKT-nya Rp 5 juta. Adil nggak? Tidak adil. Tapi faktanya itu terjadi," ujar Tjitjik dalam acara Taklimat Media tentang Penetapan Tarif UKT di lingkungan Perguruan Tinggi Negeri di Gedung Kemendikbudristek, pada Rabu, 15 Mei 2024.
Karena itu, Kemendikbud ingin mewujudkan UKT yang berkeadilan bagi mahasiswa. Caranya, kata Tjitjik, masyarakat dapat bergotong royong. Mahasiswa yang berasal dari keluarga dengan ekonomi atas, perlu membayar UKT dengan skala tertinggi. Sementara, bantuan operasional yang diberikan pemerintah kepada perguruan tinggi digunakan untuk memperbanyak akses untuk masyarakat yang tidak mampu.
"Jangan sampai anaknya tukang becak dikenakan UKT Rp 5 juta. Yang dimaksud dengan golongan ukuran kurang mampu itu adalah yang penghasilan orang tuanya maksimum, itu adalah Rp 4 juta," kata Tjijik.
Selain itu, Tjitjik menyebut, keluarga yang memiliki rata-rata pendapatan setiap anggota keluarga kurang dari Rp 750.000, juga termasuk golongan kurang mampu.
Untuk memastikan hal itu, Tjitjik mengatakan, Kemendikbud menyarankan perguruan tinggi untuk meminta data-data mahasiswa sebelum menentukan UKT mana yang sesuai dengan kondisi ekonomi keluarga. Data itu dapat berupa foto rumah, tagihan listrik, PDAM, dan sebagainya.
Dia mengungkap, Kemendikbud juga masih menemukan mahasiswa yang tidak jujur dalam memberikan data-datanya. Misalnya, dia sebenarnya dari keluarga mampu namun foto rumah yang dikumpulkan adalah foto rumah orang lain. Karena itu, dia berharap, perguruan tinggi dapat lebih cermat untuk menentukan UKT bagi mahasiswa.
Tjitjik mengatakan, idealnya, negara memang memberikan subsidi sepenuhnya untuk biaya pendidikan tinggi. Namun, karena keterbatasan anggaran yang dimiliki pemerintah untuk pendidikan, Kemendikbud berharap, masyarakat dapat bergotong royong untuk menciptakan pendidikan tinggi yang bermutu.
"Pendidikan tinggi ini, supaya benar-benar bermutu memenuhi dengan Standar Nasional Pendidikan Tinggi, ya, kita tidak bisa, pemerintah tidak bisa sendiri. Perlu gotong royong dengan masyarakat," ujar Tjitjik.
Tjitjik memastikan, pemerintah secara tegas melarang adanya komersialisasi perguruan tinggi. Dia menyebut, perguruan tinggi harus inklusif dan dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat baik yang memiliki kemampuan ekonomi tinggi maupun yang kurang.
Pilihan Editor: Kemendikbud Tanggapi Demo Mahasiswa Protes UKT Naik: Sebagian Besar Kampus Aman-Aman Saja