TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Kemendikbudristek, Tjitjik Sri Tjahjandarie, mengatakan, Uang Kuliah Tunggal (UKT) secara prinsip tidak mengalami kenaikan. Sejak 2016, Kemendikbudristek tidak pernah mengeluarkan surat edaran untuk menaikkan atau melakukan penyesuaian UKT di Perguruan Tinggi.
“Kalau kita melihat ini sebenarnya secara prinsip bukan kenaikan UKT. Tetapi penambahan kelompok UKT,” kata Tjitjik di Gedung D, Kemendikbudristek, Jakarta, Senin 13 Mei 2024.
Dalam situasi itu, perguruan tinggi juga diminta memberikan keringanan membayar UKT bagi mahasiswa yang kesulitan. Di masa pandemi Covid-19 misalnya, perguruan tinggi banyak memberikan keringanan kepada mahasiswa terdampak. “Bagi mahasiswa semester 9, UKT juga hanya perlu membayar 50 persen,” kata Tjitjik.
Dana terbatas
Di sisi lain, Kemendikbudristekdikti memiliki dana terbatas untuk memberikan Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN). BOPTN adalah bantuan biaya dari pemerintah yang diberikan kepada perguruan tinggi negeri untuk dapat membiayai kekurangan biaya operasional Pendidikan.
Ia mengatakan, BOPTN tidak mampu menutupi semua Biaya Kuliah Tunggal (BKT). BKT adalah kebutuhan minimal penyelenggaraan kuliah yang dikeluarkan selama 1 tahun. BKT ini yang menjadi dasar pertimbangan kampus menentukan UKT.
Tjitjik mencontohkan, program studi sejarah memiliki BKT sebesar 14 juta per tahun. Pemerintah hanya bisa memberikan BOPTN sebesar 28 persen. Untuk menutupi bantuan dari pemerintah, kampus mencari sumber dana dari mahasiswa.
“Sekarang kalau kemudian pemerintah itu mampu BOPTN mengcover 28 persen dari BKT, yang 72 persen siapa? Tentunya kita perlu gotong royong dari masyarakat. Yaitu masyarakat yang mampu secara ekonomi,” kata Tjitjik.
Pilihan Editor: Uang Pangkal di UNS Naik 5-8 Kali Lipat, Prodi Kebidanan dari Rp25 Juta Jadi Rp125 Juta