TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Abdul Kharis Almasyhari, membantah pembahasan draf revisi Undang-Undang Penyiaran atau RUU Penyiaran tidak memasukkan Undang-Undang Pers sebagai konsideran.
“Ada lah semuanya. Yang berkaitan dengan ini nanti akan terlibat dengan Undang-Undang terkait,” kata Abdul Kharis saat dihubungi Tempo, Rabu, 15 Mei 2024.
Anggota parlemen dari fraksi Partai Keadilan Sejahtera atau PKS ini memastikan UU Pers akan dilibatkan dalam pembasahan draf ini. Ia mengatakan tak hanya UU Pers, semua Undang-Undang yang bertalian akan dibahas.
Ia mengatakan semua pemangku kepentingan, termasuk Dewan Pers, akan dilibatkan dalam pembahasan Tingkat I RUU Penyiaran setelah diloloskan oleh Badan Legislasi DPR RI.
Kemarin, Dewan Pers beserta para konstituen dengan tegas menolak Revisi Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang saat ini tengah digodok di Badan Legislasi DPR.
Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu mengatakan RUU penyiaran ini salah satu penyebab pers di Tanah Air menjadi produk pers tidak merdeka, tidak profesional, tidak independen, dan tidak akan melahirkan karya jurnalistik berkualitas.
“Secara substantif, kenapa kemudian kita menolak draf ini? Yang pertama, ada pasal yang memberi larangan pada media investigatif. Ini sangat bertentangan dengan mandat di Undang-Undang 40 Pasal 4,” kata Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, dalam konferensi pers di Gedung Dewan Pers, Jakarta Pusat, Selasa, 14 Mei 2924.
Ninik menjelaskan, dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 tersebut sudah tidak ada lagi penyensoran, pembredelan, hingga larangan penyiaran terhadap karya jurnalitsik berkualitas. “Nah, penyiaran media investigatif adalah satu modalitas kuat dalam karya jurnalistik profesional,” tuturnya.
Alasan kedua adalah soal penyelesaian sengketa Jurnalistik. Dalam RUU itu, kata Ninik, tertuang bahwa penyelesaian justru akan dilakukan oleh lembaga yang sebetulnya tidak punya mandat dalam penyelesaian etik terhadap karya jurnalistik. Dalam draf itu, disebutkan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) bisa menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang penyiaran. Hal itu termaktub dalam draf Revisi Undang-Undang (RUU) Penyiaran terbaru atau versi Maret 2024, tepatnya di Pasal 8A ayat (1) huruf q.
“Padahal, mandat penyelesaian karya jurnalistik itu ada di Dewan Pers dan itu dituangkan dalam undang-undang,” kata dia.
Ketiga, dari sisi proses, RUU penyiaran ini menyalahi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 bahwa penyusunan sebuah regulasi harus meaningful paricipation. “Maknanya apa? harus ada keterlibatan masyarakat. Hak masyarakat untuk didengarkan pendapatnya, hak masyarakat untuk dipertimbangkan pendapatnya,” ujarnya.
Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen, Bayu Wardhana, meminta agar DPR menghapus pasal bermasalah dalam RUU Penyiaran. Salah satu pasal yang dinilai bermasalah, adalah pasal 50 Ayat (2) butir c. Pasal ini mengatur ihwal pelarangan media menayangkan konten atau siaran eksklusif jurnalisme investigasi. Bayu mengatakan, Pasal tersebut jelas membingungkan.
"Ini sebuah upaya pembungkaman pers yang sangat nyata," kata Bayu saat dihubungi, Sabtu 11 Mei 2024.
Menurut Bayu, mestinya menjadikan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers sebagai rujukan utama dalam penyusunan pasal yang mengatur tentang penyiaran karya jurnalistik. Akan tetapi, konsideran draft RUU Penyiaran tidak mencantumkan Undang-Undang Pers sama sekali. Oleh karena itu, Bayu meminta pasal tersebut harus dihapus sebab tidak ada dasar yang jelas bagi DPR untuk melakukan pelarangan terhadap media dalam menayangkan atau menyiarkan konten eksklusif jurnalisme investigasi.
"Bila dibiarkan ini menghambat kebebasan pers. AJI menolak RUU Penyiaran," ujar Bayu.
Pilihan Editor: Kala Revisi UU Kementerian Negara dan MK di DPR Jadi Sorotan
EKA YUDHA SAPUTRA | DEFARA DHANYA PARAMITHA I ANDI ADAM PARAMITHA