Pertama, kata dia, belum semua urusan pemerintahan yang disebut dalam UUD 1945 diatur dalam UU Kementerian Negara karena ada beberapa urusan pemerintahan yang belum ada nomenklaturnya dalam kementerian. Kedua, UUD 1945 tidak mengatur mengenai jumlah kementerian, sehingga pembatasan jumlah paling banyak 34 kementerian yang diatur Pasal 15 UU Kementerian Negara sudah tidak relevan.
Ketiga, tidak wajib membentuk kementerian koordinator karena diatur dalam UUD 1945 dan UU Kementerian Negara.
"Apabila tetap dibentuk kementerian koordinator, perlu dipertimbangkan agar jumlahnya paling banyak tiga kementerian koordinator saja yakni klaster politik hukum keamanan, klaster ekonomi dan keuangan, serta klaster pembangunan manusia dan kesejahteraan rakyat," ucap Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember itu.
Keempat, perlu diperhatikan keseimbangan antara jumlah menteri dari partai politik dan menteri dari kalangan profesional. Dia mengatakan, APHTN-HAN mengusulkan tiga kategori kementerian yang seharusnya diisi kalangan profesional yakni kementerian yang bersentuhan langsung dengan kepentingan hajat hidup orang banyak di antaranya bidang pendidikan dan pertanian. Kemudian kementerian yang berkaitan dengan urusan pemerintahan teknokratis serta kementerian yang melaksanakan urusan pemerintahan bersifat vertikal.
Kelima, rakernas APHTN-HAN juga mengusulkan jabatan wakil menteri harus dibatasi dengan kriteria yang jelas. Keenam, perlu memperkuat kelembagaan dan fungsi Kantor Staf Presiden (KSP) sebagai lembaga di lingkungan istana yang mendukung urusan kerja presiden dan wakil presiden.
Dan ketujuh, yakni jabatan Jaksa Agung harus diisi oleh bukan dari perwakilan partai politik sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PUU-XXII/2024.
Pilihan editor: Pengamat Sebut Keunggulan Khofifah dari Risma di Pilkada Jatim, Apa Saja?