TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia atau YLBHI Muhammad Isnur mengatakan, keberpihakan Presiden Joko Widodo dalam Pemilu 2024 merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang dan merusak demokrasi.
"Kami mendesak agar Presiden Joko Widodo untuk berhenti melakukan praktik buruk pelanggaran konstitusi dan demokrasi serta etika kehidupan berbangsa dan bernegara," kata M. Isnur dalam rilis resmi yang diterima Tempo pada Rabu, 24 Januari 2024.
Isnur mengatakan, YLBHI mendesak agar Badan Pengawas Pemilu atau Bawaslu dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) agar segera menindaklanjuti dugaan pelanggaran Undang-Undang Pemilu. YLBHI juga mendesak agar DPR juga melakukan pengawasan melalui hak angket atau interpelasi terhadap tindakan Jokowi yang menyalahgunakan kewenanganannya untuk berpihak kepada paslon tertentu. Hal itu, kata dia, melanggar prinsip netralitas pejabat publik.
"Mendesak DPR agar segera menggunakan kewenangannya melakukan pengawasan melalui hak angket atau interpelasi atau menyatakan pendapat terhadap tindakan Presiden yang semakin ngawur menyalahgunakan kewenangannya," kata Isnur.
Di samping itu, dia juga meminta agar DPR segera menindaklanjuti adanya laporan terkait pemakzulan Jokowi karena diduga telah melanggar konstitusi dan perbuatan tercela sebagai presiden. Isnur juga menuntut kepada pejabat negara untuk tunduk dan patuh terhadap aturan main demokrasi dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pemilu yang bersih, jujur dan adil.
"Klaim bahwa seorang Presiden hingga para menteri boleh kampanye dan boleh berpihak selama gelaran Pemilu 2024 merupakan sikap yang berbahaya dan menyesatkan. Jika dibiarkan, sikap ini akan melegitimasi praktik konflik kepentingan pejabat publik, penyalahgunaan wewenang dan fasilitas negara yang tegas dilarang dalam Pasal 281 ayat (1) UU 7 tahun 2017," ujarnya.
Pasal itu, kata Isnur, berisi tentang Pemilu yang menegaskan jika pejabat negara hingga kepala desa dilarang membuat keputusan atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu selama masa kampanye.
"Termasuk ketentuan Pasal 283 UU aquo yang menegaskan bahwa pejabat negara serta aparatur sipil negara dilarang melakukan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan kepada peserta pemilu, sebelum, selama dan sesudah kampanye," katanya.
Menurut Isnur, sikap presiden juga bentuk dari pelanggaran terhadap TAP MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa dan Bernegara. Etika politik dan pemerintahan mengharuskan setiap pejabat dan elit politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati, dan siap mundur dari jabatan politik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan Masyarakat.
"Etika ini harus diwujudkan dalam bentuk sikap yang bertata krama dalam perilaku politik yang toleran, tidak berpura-pura, tidak arogan, jauh dari sikap munafik serta tidak melakukan kebohongan publik, tidak manipulatif dan berbagai tindakan yang tidak terpuji lainnya," katanya.
YLBH menilai, sikap Jokowi menunjukkan pengabaian terhadap aturan main demokrasi khususnya aturan di dalam UU Pemilu terkait pentingnya netralitas pejabat negara.
"Hal ini jelas bentuk penyalahgunaan wewenang oleh presiden sebagai kepala negara maupun kepala pemerintah yang bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pemilu yang seharusnya jujur, netral, independen dan adil," katanya.
Isnur kembali mengatakan, Bawaslu maupun DPR tidak boleh diam dan membiarkan. Bawaslu maupun DPR, kata dia, mestinya menggunakan kewenangannya untuk mencegah dan menindak hal tersebut.
"Jika tidak, sebetulnya, praktik pelanggaran prinsip pemilu jujur dan adil saat ini sebetulnya terjadi saat ini salah satunya andil partai politik yang hari ini juga ikut berkontestasi dan juga mengambil keuntungan," katanya.
Pilihan Editor: Greenpeace Sebut Food Estate di Gunung Mas Gagal Total, Minta Kemenhan Tanggung Jawab