TEMPO Interaktif, Jakarta: Pimpinan Rumah Sakit Omni Internasional Tangerang, Banten, mengatakan sudah memberi pelayanan dan penanganan maksimal terhadap bayi kembar Jayed dan Jayden yang lahir prematur 24 Mei 2008. Penanganan maksimal itu, nyawa kedua bayi bersama ibunya, Juliana, bisa diselamatkan.
Demikian keterangan pers Direktur RS Omni, dr Bina Ratna di Jakarta, Minggu (14/6). Ia menanggapi informasi yang berkembang menyangkut keluhan Juliana bahwa Jayed disebutkan mengalami kebutaan. Melalui pengacara O.C. Kaligis, Juliana mengadukan Fredy Linawal, dokter spesialis mata RS Omni ke Polda Metro Jaya pada 10 Juni lalu.
Fredy dituduh melanggar Pasal 360 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang kelalaian yang mengakibatkan kecacatan orang lain. Satu di antara bayi kembar itu buta, diduga akibat terapi inkubator. "Kami sudah menyiapkan serangkaian bukti," kata Kaligis, yang juga pengacara Prita Mulyasari, penulis surat elektronik yang diadukan mencemarkan nama baik oleh RS Omni.
Menurut Bina, Jayed dan Jayden lahir sebelum waktu kelahiran normal karena Juliana sudah mengalami pecah ketuban sehingga bayi harus dilahirkan. Kelahiran bayi prematur seperti itu, kata Bina, menghadapi berbagai risiko, apalagi kalau sampai mempertahankan posisi bayi dalam kandungan dengan harapan bisa lahir normal.
Dalam kasus Jayed dan Jayden, Bina menjelaskan, dokter kandungan yang menangani proses persalinan menghadapi dua masalah sekaligus. Pertama, bayi tersebut harus lahir prematur, kedua, bayi yang akan lahir ikembar sehingga standar yang diberikan dengan skala prioritas adalah bagaimana menyelamatkan nyawa kedua bayi bersama ibunya.
"Bayi yang lahir secara prematur jelas tidak sempurna. Umumnya, paru-paru mereka tidak berfungsi sempurna dan perlu dibantu dengan teraphy incubator," kata Bina.
Karena itu, Jayed dan Jayden harus diberi teraphy incubator selama 40 hari sampai bisa melewati keadaan gawat darurat. Keadaan gawat darurat itu sangat dipengaruhi daya tahan tubuh bayi bersangkutan. "Di rumah sakit mana pun, tindakan seperti ini pasti dilakukan oleh seorang dokter," katanya.
Mengenai adanya problem pada mata bayi ini, menurut Bina, sudah pernah dikomunikasikan dengan Juliana. Ketika Jayed dan Jayden hendak dibawa pulang sehari sebelum waktu yang ditentukan, sudah disampaikan bahwa kedua bayi tersebut harus dibawa kembali ke rumah sakit keesokan harinya (7 Juli 2008) untuk berkonsultasi dengan dokter spesialis mata rentina anak di RS Omni. Namun saran ini tidak dipenuhi
Bina mengaku menerima klaim dari Juliana pada April 2009. Atas dasar kemanusian di mana dokter dan rumah sakit sebagai menyedia layanan kesehatan, sudah melakukan langkah mediasi untuk menjelaskan persoalan yang dihadapi.
"Kami sangat memahami kepedihan yang dirasakan oleh Ibu Juliana, namun perlu dipahami bahwa tidak seorang dokter pun ingin mencelakakan pasiennya. Dengan bisa menyelamatkan nyawa kedua bayi dan ibunya, sungguh membahagiakan kita karena sesungguhnya bayi itu masih perlu proses normal dalam kandungan ibundanya," kata Bina.
RS Omni pernah mengundang Juliana untuk datang ke rumah sakit guna membicarakan permasalahan dengan dokter spesialis kandungan yang menangani kelahiran anaknya, namun Juliana tidak hadir.
Dokter kandungan didampingi menajemen RS Omni kemudian berinisiatif mengunjungi kediaman yang bersangkutan, namun mediasi ini mengalami kebuntuan karena Juliana sudah membawa persoalan ke pengacara. "Sampai di sini kami buntu," katanya. Bina menyatakan tidak lari dari tanggung jawab, kalau memang ada kelalaian dari dokter di rumah sakit ini.
Menyangkut persoalan Prita, Bina kembali menegaskan bahwa pihaknya sudah pernah melakukan pendekatan kekeluargaan sebelum masuk ke ranah hukum. Namun, karena masalah ini sudah terlanjur ke jalur hukum, Bina berharap masyarakat memberi kesempatan kepada penegak hukum untuk menuntaskan kasus ini. "Mari kita hormati proses hukum yang berjalan. Apapun keputusannya, kami pun siap menerimanya," kata Bina.
ANTARA | ELIK