INFO NASIONAL - Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan menargetkan ekspor Crude Palm Oil (CPO) melalui bursa berjangka pada Juni 2023. Kebijakan ini diharapkan dapat menjadi pembentuk harga patokan CPO.
Langkah ini sebagai perwujudan komitmen Kementerian Perdagangan meningkatkan kinerja ekspor minyak kelapa sawit mentah serta mendorong pembentukan harga acuan CPO yang transparan, akuntabel, dan tepat waktu, baik untuk perusahaan besar, menengah maupun petani kelapa sawit.
“Keberadaan ekspor CPO melalui bursa berjangka akan mempermudah pengusaha, meningkatkan efisiensi dan transparansi, serta pada akhirnya meningkatkan perdagangan Indonesia,” kata Zulhas dalam acara Konsultasi Publik Rancangan “Kebijakan Ekspor CPO Melalui Bursa Berjangka di Indonesia” di Kantor Kementerian Perdagangan, Jakarta, Senin, 5 Juni 2023. Acara ini dihadiri pemangku kepentingan sektor kelapa sawit dan perwakilan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki).
Zulhas menuturkan, saat ini ekspor masih surplus meskipun tidak terlalu besar karena kondisi perekonomian global yang sedang melemah. Untuk itu, perlu sejumlah inovasi seperti pengalihan perdagangan dari pasar tradisional ke nontradisional di Timur Tengah, Asia Selatan, dan Afrika. Terlebih, banyak aturan yang mempersulit ekspor lantaran kebijakan sertifikasi di Eropa dan Amerika.
“Selain pengalihan pasar dari tradisional ke nontradisional, perlu juga memperkuat kebijakan ekspor Indonesia. Salah satunya melalui kebijakan ekspor CPO karena CPO merupakan salah satu penyumbang surplus neraca perdagangan,” ucapnya.
Baca juga:
Sebagai negara penghasil CPO terbesar di dunia, sudah selayaknya Indonesia memiliki harga acuan untuk CPO sendiri. Saat ini, Indonesia belum berperan dalam memberikan harga acuan yang diakui di pasar dunia. Harga acuan masih mengacu ke Pasar Fisik Rotterdam dan Pasar Berjangka di Kuala Lumpur (MDEX) sebagai basis penetapan harga CPO dunia.
“Berkaitan dengan kebijakan tersebut diperlukan berbagai masukan agar ekspor CPO melalui bursa tidak merugikan pelaku usaha CPO. Proses bisnis yang ada sekarang tidak banyak berubah kecuali mewajibkan ekspor CPO melalui bursa berjangka. Kebijakan kewajiban pemenuhan DMO (Domestic Market Obligation) masih berlaku, sehingga eksportir tetap wajib memiliki HE terlebih dahulu. Diharapkan pelaku usaha dapat mendukung keberadaan pengaturan ekspor CPO melalui bursa berjangka ini,” tutur Zulhas.
Kepala Bappebti Didid Noordiatmoko menjabarkan, ekspor melalui bursa berjangka komoditas ini hanya akan mengatur CPO dengan HS 15111000 dan tidak termasuk produk turunannya. Pihak-pihak yang berhak melakukan ekspor wajib memiliki Hak Ekspor (HE). Ini diperoleh dari pemenuhan atas kebijakan DMO dan/atau memiliki HE yang diperoleh dari pihak yang mengalihkan HE atas pemenuhan DMO.
Bursa CPO akan membentuk harga pasar yang wajar dan dapat memberikan keuntungan bagi semua pihak, mulai dari petani, pedagang, pengusaha, bahkan negara dari sisi penerimaan pajak.
“Kita ingin memastikan untuk ekspor CPO melalui bursa berjangka. Secara umum, Bappebti telah mengkoordinasikan kebijakan ekspor CPO melalui bursa berjangka dengan Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri dan Badan Kebijakan Perdagangan. Selain itu, Kemendag telah menggelar konsultasi publik berupa Focus Group Discussion (FGD) dengan Kementerian/Lembaga serta berbagai asosiasi dan pelaku usaha terkait,” kata Didid.
Pada prosesnya, akan ada tiga tahap kebijakan yakni Peraturan Menteri Perdagangan tentang Ekspor CPO melalui Bursa Berjangka di Indonesia; peraturan Bappebti yang akan mengatur ketentuan teknis antara lain kelembagaan, mekanisme perdagangan, mekanisme pengawasan, dan mekanisme penyelesaian perselisihan, serta Peraturan Tata Tertib (PTT) ekspor CPO melalui Bursa Berjangka.
“Diharapkan masukan pelaku usaha sektor sawit agar kebijakan tersebut dapat terlaksana, terutama pada masa transisi. Kemendag akan memastikan ekspor CPO melalui bursa dapat berjalan secara efektif,” ucap Didid.
Nantinya, masa transisi Peraturan Menteri Perdagangan terkait Ekspor CPO tersebut dicanangkan selama 60 hari untuk memberikan ruang bagi pelaku usaha agar menyesuaikan dengan kebijakan yang baru dan proses sosialisasi kebijakan, serta integrasi sistem di Kementerian Perdagangan, Indonesia National Single Window (INSW), dan bursa CPO.
Masa transisi ini diharapkan dapat meminimalisasi permasalahan yang mungkin terjadi dalam perdagangan ekspor CPO di Indonesia serta memperlancar implementasi kebijakan. (*)