TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Nasional Perlindungan Anak atau Komnas PA meminta Mabes Polri segera bertindak mengambil alih kasus pemerkosaan yang menimpa anak berusia 15 tahun di Parigi Moutong (Parimo), Sulawesi Tengah.
"Saya kira Mabes Polri khususnya Bareskrim dapat mendorong agar unit PPA segera turun," kata Ketua Komnas PA Arist Merdeka Sirait dikonfirmasi Tempo, Sabtu 3 Juni 2023.
Arist mengatakan, alasan Mabes Polri harus turun tangan karena Polda Sulteng memberikan komentar yang salah terhadap kasus tersebut.
"Bareskrim Mabes Polri harus meluruskan itu, karena akan mempengaruhi nanti pada saat proses tuntutan," kata Arist.
Apalagi, lanjut Arist, kasus tersebut diduga melibatkan salah seorang anggota Brimob, "Perwira itu harus segera dimintai keterangan, agar kasus ini terang benderang," kata Arist.
Informasi terakhir, anggota Polri berpangkat Ipda yang terlibat dalam kasus ini telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan Polda Sulteng.
Arist sebelumnya mengatakan, pihak kepolisian Polda Sulawesi Tengah telah keliru memberi pernyataan terhadap kasus tersebut yang menyebut bahwa tidak ada unsur pemerkosaan melainkan hanya persetubuhan.
"Gagal paham itu, keliru itu, perspektif yang salah, karena setiap orang yang melakukan hubungan seksual terhadap anak apa pun latar belakang anak itu, sudah kategori pidana," kata Arist.
Arist mengatakan, dalam kasus hubungan badan terhadap anak, semuanya masuk dalam kategori pemerkosaan.
"Itu (dibuat) seolah-olah anak suka sama suka, seolah anak dagang, kasihan kan anak itu. Sementara tidak ada suka sama suka dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak," kata Arist. "Makanya (pernyataan) itu harus dicabut agar kejaksaan bisa menerapkan pasal yang benar," ujar dia.
Dalam konferensi pers 31 Mei 2023, Kapolda Sulawesi Tengah Irjen Agus Nugroho memilih diksi persetubuhan anak di bawah umur dibanding pemerkosaan terkait kasus pemerkosaan terhadap anak 15 tahun di Parigi Moutong (Parimo). Agus beralasan tidak ada unsur kekerasan maupun ancaman dalam kasus tersebut.
"Dalam perkara ini tidak ada unsur kekerasan, ancaman, ataupun ancaman kekerasan termasuk juga pengancaman terhadap korban," kata Irjen Agus dalam jumpa pers di Polda Sulawesi Tengah.
Agus mengatakan alasan dia mengganti diksi 'pemerkosaan' menjadi 'persetubuhan' anak karena mengacu pada dalil KUHP. "Mengapa? Karena apabila kita mengacu pada istilah pemerkosaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 285 KUHP ini secara jelas dinyatakan bahwa unsur yang bersifat konstitutif di dalam kasus pemerkosaan adalah adanya tindakan kekerasan atau pun ancaman kekerasan, memaksa seorang wanita untuk bersetubuh dengannya di luar perkawinan," ujarnya.
Ia mengatakan kasus persetubuhan terhadap anak di bawah umur ini juga tidak dilakukan secara bersama-sama. Sebelas terduga pelaku disebutnya melakukan perbuatan tersebut sendiri-sendiri dan di waktu yang berlainan.
Agus mengatakan, berdasarkan kesaksian korban, ia disetubuhi 11 pelaku secara sendiri-sendiri di waktu dan tempat yang berbeda dalam kurun 10 bulan dari April 2022 hingga Januari 2023. 11 inisial pelaku menurut keterangan korban, yakni Kepala Desa insial HR berusia 43 tahun; ARH alias Pak Guru SD berusia 40 tahun; wiraswasta inisial RK alias A berusia 47 tahun; AR alias R berusia 26 tahun, petani; MT alias E berusia 36 tahun, tidak memiliki pekerjaan; FN berusia 22 tahun, mahasiswa; K alias DD, 32 tahun, petani; AW yang sampai saat ini masih buron; AS, sampai saat ini masih buron; AK yang sampai saat ini masih buron; dan MKS yang berprofesi sebagai anggota Brimob Polri. MKS sampai saat ini masih dalam pemeriksaan dan belum berstatus tersangka.
Pilih Editor: Polda Sulteng Tetapkan Anggota Polri Tersangka Kasus Pemerkosaan di Parimo
ADE RIDWAN YANDWIPUTRA | EKA YUDHA SAPUTRA