TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan HAM Dhahana Putra menyebutkan bahwa kasus persetubuhan dengan anak di bawah umur yang terjadi di Parigi Moutong, Sulawesi Tenggara, merupakan pemerkosaan. Dia mengatakan definisi tersebut sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
“Jelas bahwa Pasal 4 Ayat (2) UU 12 Tahun 2022 tentang TPKS disebutkan perkosaan atau persetubuhan terhadap anak dikategorikan sebagai Tindak Pidana Kekerasan Seksual,” kata Dhanana lewat keterangan tertulis, Sabtu, 3 Juni 2023. Karena itu, Dhanana meminta aparat penegak hukum tidak ragu menggunakan sejumlah undang-undang yang mengatur tentang pemerkosaan, seperti UU Perlindungan Anak, UU Sistem Peradilan Pidana Anak, maupun UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Sebelumnya, definisi perkosaan dalam kasus ini mencuat setelah Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah (Polda Sulteng) Inspektur Jenderal Agus Nugroho menyebut bahwa kasus ini bukanlah pemerkosaan, melainkan persetubuhan anak. Dia mengatakan penggunaan istilah pemerkosaan tidak tepat karena tidak menemukan unsur pemaksaan dalam peristiwa ini. Hal itu, kata dia, sesuai dengan definisi pemerkosaan seperti tercantum dalam Pasal 285 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. “Kami tidak menggunakan istilah pemerkosaan, melainkan persetubuhan anak,” kata dia Kamis, 1 Juni 2023.
Kasus pemerkosaan di Parigi Moutong melibat remaja berusia 15 tahun sebagai korban. Dia mengaku disetubuhi oleh 11 laki laki dewasa. Para pelaku memiliki latar belakang pekerjaan beragam, mulai dari kepala desa, mahasiswa, guru, hingga anggota Polri. Beberapa orang tersebut sudah ditangkap, sementara lainnya masih buron. Untuk anggota Polri berinisial NPS masih dalam pemeriksaan dan belum dijadikan tersangka.
Dhahana mengatakan telah memerintahkan bawahannya, Direktur Yankomas, untuk berkoordinasi dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Sulawesi Tenggara untuk mendorong upaya pemenuhan hak bagi korban. “Untuk menjamin mekanisme pemulihan yang komprehensif bagi anak perempuan yang menjadi korban, utamanya hak atas kesehatan fisik dan psikis,” kata dia.
Dhahana menilai kasus tersebut memilukan. Dia meminta para tersangka dapat dihukum. Dia meyakini aparat penegak hukum akan mengusut kasus secara transaparan. “Dengan mengedepankan asas kepentingan terbaik bagi anak korban sehingga para pelaku perbuatan keji itu akan dihukum sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku,” ujar Dhahana.
Menurut dia, Dirjen HAM dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tengah menggodok peraturan pelaksana UU TPKS. Peraturan tersebut diharapkan bisa menjadi petunjuk bagi aparat penegak hukum dalam menangani kasus-kasus kekerasan seksual. “Segala upaya untuk menangani tindak pidana kekerasan seksual harus menjunjung tinggi prinsip HAM dengan kerangka yang komprehensif untuk mencegah kekerasan seksual, melindungi korban dan penyintas sekaligus mempromosikan perubahan sosial,” kata dia.
Rekomendasi Editor: Pakar Hukum Nilai Kapolda Sulteng Keliru Sebut Kasus Parimo Bukan Pemerkosaan