TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) disebut akan menyetujui gugatan uji materi (judicial review) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Pelaksanaan Pemilu 2024 mendatang digadang-gadang bakal menerapkan sistem proporsional tertutup. Terlepas dari pro kontra yang berkembang, apa saja perbedaan sistem proporsional tertutup dan terbuka?
Perbedaan Sistem Proporsional Tertutup dan Terbuka
Dirangkum dari buku Sistem Pemilu Proporsional Terbuka Pasca Amandemen UUD RI 1945 dan Evaluasi Sistem Pemilu di Indonesia 1955-2021, perbedaan yang dapat dilihat dari sistem proporsional tertutup dan sistem proporsional terbuka adalah sebagai berikut.
1. Sistem Proporsional Tertutup
- Surat suara hanya menampilkan logo partai tanpa daftar nama calon legislatif (caleg).
- Calon anggota parlemen ditentukan oleh internal partai politik (parpol) dan disusun berdasarkan nomor urut.
- Calon anggota lembaga legislatif ditentukan oleh nomor urut. Sehingga, ketika sebuah parpol mengajukan enam orang, tetapi meraih dua suara, maka dua orang di urutan pertama yang akan mendapatkan kursi.
2. Sistem Proporsional Terbuka
- Surat suara memuat data lengkap tiap caleg meliputi logo parpol, nama kader, foto, dan nomor urut.
- Pemilih dapat mencoblos atau mencoret kertas (sesuai petunjuk teknis Pemilu masing-masing negara) pada kotak yang berisi nama caleg.
- Penetapan pemilih dihitung dari suara terbanyak meskipun tidak berada di nomor urut tertinggi.
Mana yang Lebih Baik?
Dilansir dari laman electoral-reform.org, secara legitimasi prinsip demokrasi, sistem proporsional terbuka dinilai lebih unggul. Pasalnya, rakyat memiliki hak memilih atas setiap individu yang pantas untuk menduduki kursi di lembaga legislatif. Sementara sistem proporsional tertutup menekankan pada penentuan nama bakal caleg sesuai keputusan pimpinan atau keanggotaan partai politik.
Sistem proporsional tertutup juga dikhawatirkan menjadi sarana balas dendam untuk mempersulit lawan internal. Namun beberapa pihak yang pro terhadap sistem tersebut mengklaim bahwa mekanisme pemilihan umum tertutup lebih praktis dan pemilih dianggap tidak begitu peduli dengan daftar kandidat.
Dikutip dari situs mkri.id, perwakilan kuasa hukum dari tiga kader Partai Golongan Karya (Golkar) Martinus Anthon Werimon, Derek Loupatty, dan Achamd Taufan Soedirjo, yaitu Heru Widodo menegaskan bahwa pihaknya menolak keinginan MK untuk membatalkan sistem proporsional terbuka. Alasan keberatan karena sistem yang berlaku sekarang lahir dari evaluasi atas reformasi 1998.
Lebih lanjut, Heru penerapan sistem proporsional terbuka merupakan hasil transisi dari kelemahan-kelemahan sistem proporsional tertutup. Beberapa kekurangannya ialah menutup partisipasi publik sehingga sering menimbulkan kekecewaan. Selain itu, membuat komunikasi politik tidak berjalan adil karena kemudahan untuk memprediksi kandidat yang akan menang,
Sebaliknya, menurut Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra, selama Pemilu sistem proporsional terbuka telah menampilkan sejumlah sisi gelap. Sistem tersebut justru disebut mampu menghilangkan jarak antara pemilih dengan kandidat wakil rakyat. Karena partai politik tidak lagi fokus mengejar fungsi asasi sebagai distributor pendidikan dan partisipasi politik yang benar.
Dengan sistem proporsional terbuka, Yusril menyebut bahwa kandidat-kandidat yang diusung hanya berkonsentrasi untuk mendulang suara terbanyak. Partai tidak lagi membina kader muda untuk serius membawa ideologi partai dalam jangka panjang. Namun mereka hanya ingin mencari jalan pintas dengan memburu caleg populer.
“Kader-kader terbaik yang punya kapasitas untuk bekerja, tapi tidak begitu populer, perlahan akan tersingkir dari lingkaran partai dan diganti oleh figur-figur terkenal yang terkadang belum tentu bisa bekerja dengan baik”, kata Yusril di Ruang Sidang Pleno MK pada Rabu (08/02/2023).
Pilihan editor: Pemilu 2024, Mahfud Md Pastikan Putusan MK Tak Akan Banyak Mengubah Teknis Administratif
MELYNDA DWI PUSPITA