TEMPO.CO, Jakarta - Majalah Tempo edisi 28 November 2023 mengangkat laporan utama mengenai kasus korupsi BTS yang berjudul Para Penikmat Proyek Pemancar. Laporan tersebut membeberkan bahwa bukan hanya Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate yang diduga terlibat dalam kasus itu. Namun, ada aktor-aktor lain dari lingkaran partai yang diduga ikut cawe-cawe dalam proyek tersebut.
Perihal kasus korupsi proyek BTS, Kejaksaan Agung sejauh ini sudah menetapkan 7 tersangka. Selain Johnny, Kejaksaan juga menetapkan Direktur Utama Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI) Anang Achmad Latif menjadi tersangka. Selain itu, ada 5 pihak swasta yang turut dijadikan tersangka.
Meski sudah menetapkan 7 tersangka, Kejaksaan menyatakan masih akan tetap mencari pihak lain yang diduga terlibat dalam kasus yang merugikan negara Rp 8 triliun ini. “Semua informasi akan didalami, kita lihat saja perkembangannya,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana pada 21 Mei 2023.
Sebelum kejaksaan melakukan penyidikan kasus BTS, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebetulnya telah mengendus berbagai permasalahan dalam proyek yang dimulai pada 2020 ini. BPK melakukan Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) terkait proyek pembangunan Base Transceiver Station (BTS) di tahun 2021. Anggota BPK Achsanul Qosasih mengatakan laporan itu sudah diserahkan kepada DPR maupun Presiden. Dia mengatakan laporannya juga sudah diserahkan ke Kejaksaan Agung.
“Sudah kami sampaikan laporannya ke Presiden, DPR dan kepada Kejaksaan Agung,” kata Achsanul, Selasa, 23 Mei 2023.
Dalam hasil pemeriksaan tersebut, BPK menemukan segudang masalah terkait proyek pembangunan menara pemancar yang dilakukan oleh Kominfo di daerah pelosok Indonesia. Misalnya saja mengenai dugaan pemborosan keuangan negara hingga permasalahan kontrak. Berikut ini merupakan 3 temuan BPK terkait kejanggalan proyek BTS Kominfo.
- Pemborosan Anggaran Rp 1,5 Triliun
BPK juga menemukan adanya pemborosan anggaran di proyek pembangunan BTS Bakti Kominfo. Tidak tanggung-tanggung, nilainya mencapai Rp 1.550.604.887.030 atau Rp 1,5 triliun.
Pemborosan anggaran yang sempat dicatat BPK tersebut mencakup dana komponen capital expenditure (capex) alias belanja modal. Antara lain biaya penggunaan helikopter dan sejenisnya yang mencapai Rp 1,4 triliun. Begitu pula dengan biaya training dan servis lainnya yang masing-masing senilai Rp 30,9 miliar dan Rp 60,6 miliar.
Komponen kedua yakni operational expenditure (opex) alias biaya operasional, berupa biaya Hak Penyelenggaraan Telekomunikasi dan Kontribusi Kewajiban Pelayanan Universal atau Universal Service Obligation (USO) sebesar Rp 52 miliar. Dana tersebut dikembalikan sesuai permintaan BPK.
- Pengadaan BTS Tidak Sesuai Ketentuan
BPK menemukan bahwa proses pengadaan proyek penyediaan infrastruktur Base Transceiver Station (BTS) 4G dan infrastruktur pendukungnya tidak sepenuhnya sesuai ketentuan. Salah satunya ditemukan dalam tahap prakualifikasi, BPK menyebut bahwa persyaratan dalam dokumen prakualifikasi disusun tidak sesuai ketentuan dan membatasi kesempatan partisipasi dari calon penyedia.
Selain itu persyaratan kriteria kualifikasi yang ditetapkan tidak sesuai dengan Peraturan Dirut Bakti Nomor 7 Tahun 2020. Pada akhirnya perusahaan yang sebenarnya tidak memenuhi kualifikasi yang disyaratkan untuk mendapatkan pekerjaan proyek itu justru diloloskan.
- Pelaksanaan Tender
BPK juga menemukan keanehan dalam pelaksanaan tender. Misalnya, dokumen tender yang belum mengatur secara detail mengenai mekanisme dan aturan dalam pelaksanaan lelang bersama. BPK menyatakan proses penawaran ulang sebagai tindak lanjut lelang gagal tidak sesuai ketentuan. Perubahan dokumen tender oleh Pokja Pemilihan dilakukan untuk menghindari dilakukannya lelang ulang. Sementara, pengisian jumlah unit (kuantitas) pada Lampiran Penawaran Teknis berupa BoQ dilakukan oleh Penyedia dan Pokja Pemilihan tidak melakukan penilaian terhadap kewajaran harga satuan pada Lampiran Penawaran Teknis
ROSSENO AJI | RIRI RAHAYU