TEMPO.CO, Jakarta - Pakar Hukum Tata Negara dan Konstitusi dari Universitas Muslim Indonesia Fahri Bachmid menilai Putusan MK (Mahkamah Konstitusi) tentang perpanjangan masa jabatan Pmpinan KPK bersifat multitafsir dan problematik.
Putusan Nomor 112/PUU-XX/2022 tersebut membuat jabatan Pimpinan KPK Firli Bahuri cs yang awalnya hanya empat tahun menjadi lima tahun.
Ia menjelaskan putusan MK sama sekali tidak memberikan jalan keluar sebagai konsekuensi diterimanya gugatan perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK. Fahri mengutip pertimbangan hukum MK dalam putusan tersebut yang tertuang dalam halaman 117.
Pertimbangan MK adalah "Dengan mempertimbangkan masa jabatan pimpinan KPK saat ini yang akan berakhir pada 20 Desember 2023 yang tinggal kurang lebih 6 (enam) bulan lagi, maka tanpa bermaksud menilai kasus konkret, penting bagi Mahkamah untuk segera memutus perkara a quo untuk memberikan kepastian hukum dan kemanfaatan yang berkeadilan."
Menurut Fahri, pertimbangan MK tersebut tidak bisa menjadi pijakan konstitusional bagi pimpinan KPK saat ini terkait dengan kewenangan transisi sampai Desember 2024.
Dia berpendapat putusan MK memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum sebagaimana diatur dalam Pasal 47 UU MK.
"Artinya secara teoritik putusan MK bersifat prospektif ke depan atau forward looking dan tidak retroaktif ke belakang atau backward looking," ujar Fahri dalam keterangannya kepada Tempo pada Sabtu, 27 Mei 2023.
Dia juga menilai putusan MK tidak membuat kanal konstitusional, minimal pada amar putusannya, untuk menampung keadaan khusus mengenai kaidah peralihan. Hal tersebut penting diatur agar memuat penyesuaian pengaturan tindakan hukum antara ketentuan dan putusan MK tersebut.
Pilihan Editor: Polemik Putusan MK, Sejumlah Mantan Orang Dalam KPK Bilang Begini