TEMPO.CO, Jakarta - Jaringan Aksi Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) mengatakan, salah satu yang penting dalam Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga atau RUU PPRT adalah soal data terpadu para pekerja.
"Yang paling penting memastikan soal data terpadu," kata Koordinator Jala PRT Lita Anggraini di Jakarta pada Selasa, 23 Mei 2023.
Lita mengatakan, soal data terpadu yang terintegrasi dalam sistem online dalam RUU PPRT adalah untuk memastikan soal hak-hak para pekerja rumah tangga. "Bagaimana pemenuhan hak-hak itu harus melalui data terpadu terintegrasi sistem online," kata Lita.
Lita menyampaikan walaupun beberapa ada yang terbatas mengakses sistem online ini, nantinya akan dibantu aparat desa ataupun suku dinas terkait yang di tempatkan di desa-desa bersangkutan.
"Walaupun orang itu tidak bisa mengakses secara online, bisa dibantu aparat desa yang dipandu oleh SKPD ataupun suku dinas yang ditempatkan di desa-desa ataupun wilayah PRT pekerja," katanya.
Lita menyampaikan pada dasarnya subtansi ini dirancang untuk memberikan perlindungan bagi PRT dan pemberi kerja. Perlindungan bersifat dari hulu sampai hilir, dari pra kerja, masa kerja dan pascakerja.
"Sebagaimana berkaitan dengan pengakuan profesi PRT sebagai pekerja dalam KTP, hak perlindungan sosial, seperti jaminan sosial dan bantuan sosial, pengawasan situasi kerja dan sebagainya," katanya.
Selain itu, dengan perlindungan di hulu, para pekerja rumah tangga dapat mengetahui informasi dengan transparan. Dengan demikian, keluarga bisa mengetahui dengan siapa pekerja rumah tangga itu bekerja, bagaimana situasi kerjanya, kemudian, kata Lita, harus ada interview langsung oleh pemberi kerja.
"Tidak terjadi seperti sekarang, seperti terjadi hilang kontak, terjadi kekerasan," ujar dia.
Pengaduan dari PRT
Lita mengaku bahwa dalam dua hari belakangan dirinya mendapati sebanyak 12 kasus pengaduan kekerasan yang dialami pekerja rumah tangga. Tujuh kasus di antaranya adalah penahanan dokumen pribadi oleh penyalur.
"Hari ini saja ada pengaduan 12 kasus ya, tujuh kasus adalah penyitaan dokumen pribadi dari PRT," katanya.
Lita mengatakan ada dua jenis dokumen yang ditahan, yaitu KTP dan ijazah. Untuk menembus dua dokumen tersebut, Lita mengatakan PRT mesti membayar Rp 700 ribu.
"Dia tidak bisa mendapatkan kembali dokumennya itu," ujarnya.
Dan juga kata Lita, ada laporan PRT hilang kontak. Dari laporan yang menimpa PRT inilah kata Lita mengapa perlindungan PRT menjadi sangat penting.
"Jadi ini penting, kenapa perlindungan dari dulu. Baik itu yang disalurkan langsung oleh keluarga, kerabat, teman atau siapa yang bertindak menyalurkan itu harus jelas melalui data-data yang harus disediakan di desa," ucapnya.
Lita mengatakan dari sistem online terintegrasi itu kedua pihak. Baik PRT dan penyalur mengisi data.
"Dari situ bisa menjadi bagian dari perlindungan, kalau dua-duanya mengisi. Karena ketahuan seperti apa situasi kerjanya," ujarnya.
Jadi kata Lita, ketika seorang pekerja rumah tangga mendapat kerja namun situasi kerja tidak sesuai dengan apa yang disepakati dalam interview, maka dapat disebut ada indikasi informasi palsu.
Pilihan Editor: Puan Maharani Sebut RUU PPRT Masih Dibahas di Badan Legislasi