TEMPO.CO, Jakarta -Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menilai terjadi penurunan demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) di peringatan 25 tahun reformasi. Menurut KontraS, indikasi kembalinya rezim yang otoriter seperti Orde Baru justru menguat.
“Cita-cita dan mandat reformasi yang menghendaki Indonesia keluar dari zaman orde otoritarian, indikasinya justru kembali muncul dan menguat belakangan ini,” kata Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti lewat keterangan tertulis, Ahad, 21 Mei 2023.
Menurut Fatia beberapa agenda seperti amandemen konstitusi memang sudah dijalankan. Sayangnya, kata dia, sejumlah agenda lain seperti supremasi hukum, penghapusan praktik korupsi, serta pengadilan untuk penjahat Orde Baru belum terlaksana.
Fatia menuturkan demokrasi mengalami kemunduran serius dengan sejumlah fenomena. Hal itu ditandai dengan penggunaan aturan hukum untuk mengekang kebebasan berpendapat, lemahnya pengawasan dalam kekuasaan, dan pemilu yang rawan kecurangan.
Fatia Maulidiyanti berujar sejumlah aturan hukum dibuat justru untuk mengekang masyarakat. Contohnya, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang telah disahkan. Menurut dia, aturan itu masih mengandung sejumlah pasal yang berpontensi mengancam demokrasi, seperti penghinaan terhadap penguasa.
“Pasal itu akan memperburuk situasi demokrasi di Indonesia,” kata perempuan yang tengah menjadi korban kriminalisasi karena mengkritik pejabat pemerintah ini.
Dia mengatakan saat ini terbentuk pola buruk legislasi dengan tidak membuka partisipasi bermakna dari publik. Contohnya adalah cepatnya proses pembentukan aturan, seperti Undang-Undang Minerba, UU Mahkamah Konstitusi dan UU Cipta Kerja. "Regulasi eksisting pun tak kalah problematik, seperti halnya UU ITE yang telah memakan banyak korban," kata dia.
Fatia mengatakan rusaknya demokrasi juga ditandai dengan Presiden Jokowi yang ikut berupaya menentukan jalannya Pemilu 2024 dengan memimpin konsolidasi sejumlah partai. Menurut dia, presiden seharusnya netral dan tidak mencabik-cabik demokrasi dengan ikut cawe-cawe dalam Pemilu selanjutnya.
Selain soal demokrasi, Fatia turut menyoroti kelanjutan reformasi TNI. Menurut dia, bukannya konsisten menjaga nilai reformasi dengan menghapus dwifungsi TNI, pemerintah Jokowi justru menempatkan banyak petinggi TNI masuk ke dalam jabatan sipil. Hal tersebut, kata dia, diperparah dengan munculnya wacana revisi UU TNI. Menurut Fatia, revisi itu bermasalah lantaran sejumlah pasal akan berakibat pada menguatnya peran militer di ranah sipil.
“Kami menilai bahwa rencana revisi UU TNI ini merupakan salah satu langkah kemunduran terhadap agenda reformasi sektor keamanan dan berpotensi untuk menguatkan cengkraman militer dalam ranah sipil,” kata dia.
Melihat situasi itu, Fatia mengatakan di peringatan 25 tahun reformasi yang jatuh tahun ini, penting untuk melakukan evaluasi dan refleksi secara mendalam untuk mengukur keberhasilan reformasi. Menurut dia, seperempat abad reformasi akan percuma apabila aktor yang seharusnya bertanggung jawab terhadap dosa masala lalu, justru berkuasa dan melebarkan sayap di pemerintahan.
Kultur militerisme dan kekerasan sebagai ciri khas orde baru pun tidak bisa dibiarkan untuk terus hidup. Akhirnya, cita-cita reformasi tak akan pernah terwujud selama demokrasi terus dikekang dan tiadanya komitmen penghormatan, perlindungan serta pemenuhan HAM,” kata dia.
Pilihan Editor: 25 Tahun Reformasi, 127 Pembela HAM Alami Serangan Sepanjang Januari-Mei 2023