TEMPO.CO, Jakarta - Hukuman mati sebenarnya sudah diterapkan sejak ratusan tahun lalu di negara Yunani Kuno. Jenis hukuman ini lahir dari cara berpikir setiap orang yang menganggap bahwa boleh dan sah untuk membunuh orang lain. Selain itu, orang atau kelompok yang berkeyakinan memiliki kebijaksanaan dapat menentukan kehidupan dan kematian orang lain.
Menurut Dosen Filsafat Politik, Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM), Agus Wahyudi penerapan hukuman mati di Indonesia didominasi oleh dua argumen utama. Pertama, pencegahan. Argumen pertama ini berlandaskan dari gagasan suatu kelompok untuk menghilangkan kejahatan. Kelompok tersebut membutuhkan cara untuk dapat menekan angka kejahatan sehingga kejahatan serupa tidak terulang.
Kedua, retributivisme. Argumen kedua menyatakan bahwa perbuatan yang salah harus dihukum apa pun konsekuensinya. Pada argumen kedua terdapat alasan membalas dendam kepada pelaku kejahatan untuk menegakkan keadilan di mata hukum.
Lebih lanjut, Agus Wahyudi menjelaskan, berbeda dengan Indonesia yang menerapkan hukuman mati untuk menekan angka kejahatan, di Belanda, tidak menerapkan hukuman mati, tetapi angka kejahatannya justru menurun.
“Alih-alih hukum di Indonesia menerapkan hukuman mati untuk menekankan angka kejahatan, tetapi angka tersebut tidak kunjung menurun. Berbeda dengan negara lain yang tidak menerapkan hukuman mati, tetapi angka kejahatannya sangat kecil,” kata Agus Wahyudi kepada Tempo.co, pada 16 Mei 2023.
Hukuman mati diterapkan sebagai perwujudan rasa hormat seseorang terhadap keputusan sadar dari pelaku kejahatan. Artinya, seorang pelaku kejahatan berhak menerima hukuman atas tindakannya. Terdapat konsekuensi atas tindak kejahatan yang dilakukan. Selain itu, hukuman mati juga menjadi pembalasan hukuman yang dilakukan atas tindakan kesalahan pelaku. Balas dendam dalam kacamata retributivisme ini dianggap sebagai sebuah keadilan. Namun, balas dendam perlu dibatasi dalam hukum karena dapat mengotori rasa keadilan.
Menurut Agus Wahyudi, dalam diskusi etik, melihat hak asasi manusia atas hukuman mati menjadi hal berbeda yang membutuhkan pertimbangan moral lain. Menentukan suatu perbuatan salah adalah satu hal yang berbeda dengan merespons atau memberikan reaksi kepada seseorang atas tindak kejahatannya. Misalnya, dalam kasus kejahatan narkoba, efek dari narkoba akan membuat kematian dan penderitaan bagi pelaku. Tindakan tersebut merupakan perbuatan yang salah. Namun, apakah pelaku tersebut harus dihukum mati?
Hukuman mati akan dijatuhkan pada jenis perbuatan yang dianggap berbahaya. Namun, siapa yang menentukan sesuatu atau suatu perbuatan itu dianggap berbahaya atau tidak. Nantinya, permasalahan ini akan sesuai dengan cara berpikir seseorang, suatu kelompok, atau lembaga penegak hukum.
Atas dasar tersebut, Dosen Filsafat Politik ini meyakini bahwa hukuman mati tidak dapat dibenarkan dari sisi moral. Ia berharap Indonesia dapat menghapuskan hukuman mati, meskipun sulit untuk direalisasikan. Namun, jika masih diberlakukan hukuman mati, perlu memeriksa alasan realisme mengapa hukuman mati masih tetap diterapkan. Hukuman penjara seumur hidup jauh lebih efektif daripada penerapan hukuman mati.
Perkembangan hukum Indonesia saat ini yang sedang melakukan pembaharuan pada KUHP menjadi salah satu cara untuk tidak langsung menerapkan hukuman mati di Indonesia. Berdasarkan batang hukum tersebut, seorang pelaku kejahatan akan melakukan hukuman percobaan terlebih dahulu, sebelum diterapkan hukuman mati. Misalnya, pihak pengadilan melihat dalam beberapa tahun ke depan apakah pelaku kejahatan berubah menjadi lebih baik atau tidak.
Pilihan Editor: Vonis Teddy Minahasa Penjara Seumur Hidup, Ini Kronologi Kasus Narkoba Polisi Terkaya di Negeri Ini
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.