TEMPO.CO, Surabaya - Sejumlah eks aktivis Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) Surabaya menggelar pameran foto Reformasi 98 serta diskusi mengenang 25 tahun kasus penghilangan paksa Herman Hendrawan dan Petrus Bima Anugerah. Kegiatan bertema “Peristiwa Mei 98: Yang (Tak Pernah) Hilang dalam Memori Kolektif” tersebut dilaksanakan di area Museum Etnografi Kematian Kampus B Universitas Airlangga, Rabu, 17 Mei 2023.
Diskusi lesehan itu dihadiri oleh dosen Departemen Antropologi Pembangunan Fisip Unair Pingky Saptandari, Ketua Ikatan Keluarga Orang Hilang (Ikohi) Jawa Timur Dandik Katjasungkana dan dokter Yudhayana selaku pendamping aktivis mahasiswa 1998 serta puluhan mahasiswa.
Dalam penuturannya Pingky lebih banyak bercerita masa-masa Mei 1998 saat mahasiswa dari berbagai kampus di Surabaya turun ke jalan dengan episentrum unjuk rasa di kampus Unair Jalan Darmawangsa. Dari kampus tersebut mereka bergerak ke tengah kota, antara lain ke Stasiun Radio Republik Indonesia Jalan Pemuda.
“Meskipun jarak Unair ke RRI Surabaya tidak terlalu jauh, namun sulit sekali menembus barikade aparat polisi dan tentara saat itu. Nah, saya mesti kebagian sebagai negosiator agar massa mahasiswa diperbolehkan long march,” kata Pingky.
Dandik Katjasungkana yang juga alumni jurusan Sosiologi Unair Angkatan 1990 mengatakan kegiatan peringatan 25 Tahun Reformasi tersebut dikemas dalam dua acara. Selain diskusi dan pameran di area Museum Etnografi Kematian, pada 24 Mei 2023 kegiatan itu akan dialihkan ke Ruang Adi Sukadana Fisip Unair dengan menghadirkan nara sumber utama Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek Hilmar Farid.
“Isu penghilangan paksa Herman dan Petrus Bima menjadi bagian dari rangkaian kegiatan ini,” kata Dandik.
Tujuan kegiatan itu sendiri, kata Dandik, secara umum sebagai memorialisasi terhadap generasi sekarang dan masyarakat secara umum bahwa pernah terjadi kasus pelanggaran HAM berat terhadap Herman dan Petrus Bima. Herman merupakan mahasiswa Sosiologi Unair Angkatan 1990, adapun Petrus Bima yang akrab disapa Bimo Petrus adalah mahasiswa llmu Komunikasi Angkatan 1993.
“Secara khusus acara ini juga sebagai negosiasi kepada kampus, khususnya Dekanat Fisip supaya memberikan suatu penanda apresiasi kepada dua mahasiswanya yang hilang karena memperjuangkan kebebasan dan demokrasi. Misalnya dibuatkan monumen prasasti atau dipakai untuk nama ruang kuliah dan nama gedung di Fisip ini,” tutur Dandik.
Dandik berujar Herman Hendrawan diketahui raib setelah diculik sekelompok aparat pada 12 Maret 1998 di Jakarta. Herman yang kala itu telah menjadi aktivis SMID dan Partai Rakyat Demokratik (PRD) pusat, diambil setelah mengadakan konferensi pers bersama Komite Nasional Perjuangan Demokrasi (KNPD) di kantor YLBHI Jakarta. Materi konferensi pers ialah menolak Soeharto dipilih kembali sebagai presiden dalam Sidang Umum MPR 1998.
Adapun Bimo Petrus hilang misterius antara akhir Maret hingga awal April 1998. Menurut Dandik tak ada yang tahu siapa penculik Bimo. Tahu-tahu alat komunikasinya berupa pager (penyeranta) sudah tidak bisa dihubungi. “Sampai saat ini belum jelas di mana Bimo diculik dan oleh siapa,” kata Dandik yang mengkader Petrus Bima sebagai aktivis gerakan mahasiswa sejak 1993.
Kawan Petrus Bima sesama aktivis SMID, Heru Krisdianto, menuturkan pertemuan terakhirnya dengan mahasiswa asal Malang itu terjadi pada pertengahan 1997 di tempat kos Jalan Jojoran Surabaya. Ketika itu Bimo Petrus yang dikejar-kejar aparat sejak peristiwa 27 Juli 1996 di Jakarta, tiba-tiba muncul di Surabaya.
Setelah mengkonsolidasikan teman-temannya yang sempat kocar-kacir pasca 27 Juli 1996, Bimo Petrus yang telah menjabat sebagai Ketua Departemen Propaganda SMID pusat itu balik ke Jakarta. “Menurut kami tidak ada keseriusan pemerintah untuk menemukan korban penghilangan paksa, termasuk Herman dan Bimo,” kata Heru ihwal 25 Tahun Reformasi.
Pilihan Editor: Kejaksaan diminta Sidik Kasus Penghilangan Paksa 1997-1998