INFO NASIONAL – Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah mengingatkan politik identitas sangat berbahaya sebab dapat melahirkan oposisi biner yang memperhadapkan pemerintah dengan masyarakat, atau masyarakat dengan masyarakat lain yang merasa saling berbeda.
‘’Politik identitas bisa membelah masyarakat dalam waktu yang lama. Ini terjadi karena politik identitas adalah bagian dari strategi politik itu sendiri yang fokus mencari perbedaan di tengah masyarakat lalu memanfaatkan primordialisme masyarakat untuk menarik simpati politik,’’ kata Ahmad Basarah dalam diskusi pubik ‘’Problematika Politik Identitas Jelang Pemilu 2024’’ yang digelar oleh FISIP Magister Ilmu Komunikasi UMJ, Rabu, 17 Mei 2023.
Baca Juga:
Ketua Fraksi PDI Perjuangan itu memberi contoh Pemilu 2019 ketika dimunculkan narasi Partai Allah versus Partai Setan. Ada pula yang menyamakan Pilpres 2019 dengan Perang Badar di zaman Rasulullah SAW.
‘’Ini tentu tidak benar sebab Perang Badar adalah pertempuran antara umat Islam melawan kaum musyrik penyembah berhala. Padahal masyarakat Indonesia tak ada yang menyembah berhala, malah mayoritas masyarakat adalah muslim,’’ ujarnya.
Bahkan, para pelaku politik identitas rela melakukan kampanye hitam lewat berita-berita bohong, hoaks, fitnah, dan kabar-kabar menyesatkan lainnya asal tujuan mereka tercapai.
‘’Mereka tidak mementingkan politik kebangsaan, tidak peduli tindakan mereka mengancam persatuan bangsa atau tidak, pokoknya asal menang, segala cara bakal mereka lakukan. Padahal, berita bohong dan fitnah yang mereka sebar membekas di hati masyarakat bertahun-tahun, bahkan sampai Pemilu telah lama usai.”
Ketua Dewan Pakar Persatuan Alumni GMNI ini menambahkan, kini penggunaan narasi politik identitas telah sampai pada fase yang sangat sensitif ketika relasi agama dan negara dipersoalkan lagi, bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dibenturkan dengan ideologi khilafah, bahkan sangat terasa ada ‘’invisible hand’’ yang berupaya mengadu domba kaum nasionalis dengan kelompok Islam, Tentara Nasional Indonesia (TNI) versus Polri.
Untuk itu, ia mengajak semua aktivis partai politik dari partai apa pun untuk memaksimalkan Undang-undang No. 2 tahun 2011 tentang partai politik. Dalam undang-undang itu disebutkan bahwa parpol harus melakukan pendidikan politik, menciptakan iklim persatuan dan kesatuan, menyerap dan menyalurkan aspirasi rakyat, mengamalkan Pancasila, serta memelihara keutuhan NKRI.
Doktor bidang hukum lulusan Universitas Diponegoro Semarang ini juga mengimbau semua pihak kembali pada UU Pemilu No. 7/2017, khususnya Pasal 280 ayat (1) huruf c, yang menegaskan pelaksana, peserta dan tim kampanye dilarang menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon dan atau peserta pemilu yang lain.
‘’Jika semua undang-undang ini dimaksimalkan, termasuk undang-undang nomor 19 tahun 2016 tentang tentang informasi dan transaksi elektronik juga melarang penyebaran informasi yang menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu atau kelompok masyarakat, maka dengan sendirinya kita semua sudah melakukan kontra narasi terhadap digunakannya politik identitas itu,’’ kata dia.
Diskusi publik ini juga menghadirkan narasumber lainnya, yakni Peneliti Ahli Utama BRIN Siti Zuhroh, Ketua DPP Partai Nasdem Willy Aditya, juru bicara PKS Muhammad Iqbal, Rektor UMJ Mamun Murod, serta pengamat politik Rocky Gerung. (*)