TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, mengatakan sistem pemilu saat ini mengunci kemungkinan partisipasi warga dan politik alternatif bergerak secara leluasa.
Dia memandang hal itu karena oligarki mengatur pemilu secara sistematis sehingga siklus pemegang kekuasaan tertutup untuk dimasuki oleh orang-orang di luar oligarki dan orang-orang yang yang mau bekerja sama dengan oligarki.
"Tindakan partai politik yang terlibat dalam amandemen undang-undang yang membuat presiden dipilih langsung oleh rakyat, tapi dikebiri oleh partai politik," kata Isnur dalam diskusi Jalan Menuju Pemilu: Apakah Kita Masih Perlu Golput?, Kamis, 11 Mei 2023.
Padahal, kata Isnur, undang-undang jelas mengatakan setiap orang memiliki hak yang sama dalam pemerintahan. Namun, dia memandang aturan tentang parpol justru mengunci partai-partai alternatif susah masuk. "Makanya kita tahu bersama betapa sulitnya kemarin beberapa partai untuk lolos verifikasi Komisi Pemilihan Umum (KPU)," ujanya.
Isnur menyayangkan adanya presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden 20 persen yang membuat peluang membuka seluas-luasnya partisipasi masyarakat untuk bergabung itu sulit.
Meski sudah berkali-kali diuji di Mahkamah Konstitusi (MK), Isnur menyayangkan MK selalu selaras dengan DPR dan pemerintah. "Apalagi jalur perseorangan seperti di Amerika Serikat, ada Partai Hijau yang sekian persen bisa mencalonkan orang. Di Indonesia, sudah terkunci," ucapnya.
Alih-alih memikirkan tentang kampanye golput yang tidak pernah mencapai sesuatu yang besar, Isnur mengatakan lebih baik memikirkan cara mencuri klaster yang selama ini dicuri oligarki. Menurut dia, tidak cukup hanya menyerang atau mengomentari mereka. "Rakyat sipil harus berani merebut klaster besar itu."
Tugas rakyat sipil hari ini, lanjut Isnur, adalah merumuskan gagasan alternatif tentang demokrasi. Isnur menyebut rakyat sipil harus mengetengahkan ide-ide baru yang tidak mengikuti arus oligarki, misalnya tentang referendum.
Pilihan Editor: Gerakan Politik Alternatif Jalan di Tempat, Akademisi UNJ: Aktivis Perlu Intervensi Percaturan Politik