TEMPO.CO, Jakarta - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menilai pemerintah masih arogan dalam hal penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu. Hal itu disampaikan KontraS menanggapi pernyataan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD di Istana Negara pada 2 Mei 2023.
“Kami mengecam pernyataan Menkopolhukam Mahfud MD saat konferensi pers di Istana Kepresidenan,” kata Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti, Rabu, 3 Mei 2023.
Sebelumnya, Mahfud mengatakan bahwa pemerintah tidak akan meminta maaf soal pelanggaran HAM berat masa lalu. Pernyataan tersebut disampaikan seusai Mahfud mengikuti rapat yang dipimpin Presiden Joko Widodo dan diikuti 19 pejabat tinggi lainnya. Mahfud berkata rapat itu membahas tindak lanjut rekomendasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mengenai penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat masa lalu.
“Tidak ada permintaan maaf dari pemerintah kepada masyarakat karena peristiwa itu, tetapi pemerintah mengakui bahwa peristiwa memang terjadi,” kata dia.
Fatia menilai tidak adanya permintaan maaf tersebut menunjukkan wajah arogan negara atas luka dan dosa yang dilakukan kepada keluarga korban pelanggaran HAM berat masa lalu. Dia menilai pengakuan tanpa dibarengi permintaan maaf dan tindakan tanggung jawab tidak akan memberikan keadilan pada korban.
“Permintaan maaf tentu penting, karena merupakan wujud reparasi simbolis sebagai awal dari upaya mengakui kesalahan dengan sungguh-sungguh,” ujar dia.
Fatia mengatakan pengakuan dan permintaan maaf kepada korban harusnya ditindaklanjuti dengan tindakan untuk mengembalikan hak korban dan keluarga korban, serta tindakan hukum untuk mengadili para terduga pelaku pelanggaran HAM berat. “Perlu diingat bahwa korban pelanggaran HAM berat adalah orang yang telah mengalami penderitaan akibat penyalahgunaan kekuasaan,” kata dia.
Kewajiban atas pelanggaran HAM berat
Dia mengatakan menurut hukum yang berlaku universal, negara memiliki serangkaian kewajiban yang harus dilakukan terhadap pelanggaran HAM berat. Kewajiban itu di antaranya, kewajiban mengingat, menuntut pidana, kewajiban mengembalikan keadaan korban, serta kewajiban menjadin tidak lagi terjadi pelanggaran HAM di masa depan.
“Dalam pengalaman internasional, Pemerintah juga dapat belajar dari pemerintah Afrika Selatan pasca politik apartheid runtuh dengan berani meminta maaf, mengakui dan mempertanggungjawabkan kesalahannya,” ujar Fatia.
Fatia mengatakan KontraS juga menyesalkan upaya pemerintah dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu yang hanya menitikberatkan pada penyelesaian non-yudisial, tanpa mencari pelaku. Menurut dia, pernyataan tersebut mempertontonkan impunitas atau kekebalan hukum pada para pelanggar HAM di Indonesia.
Fatia mengatakan KontraS mendesak pemerintah melakukan penuntasan pelanggaran HAM berat secara menyeluruh melalui proses hukum, pengungkapan kebenaran dan pemulihan para penyintas serta keluarga korban. KontraS, kata dia, juga mendorong presiden menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu menggunakan mekanisme yudisial dengan memerintahkan Jaksa Agung untuk segera menindaklanjuti berkas penyelidikan Komnas HAM.
Pilihan Editor: Soal Pelanggaran HAM Berat, Mahfud MD: Pemerintah Tidak Sampaikan Maaf, Tetapi...