TEMPO.CO, Jakarta - Setara Institute meminta penyerangan terhadap kantor Polres Jeneponto dan Polres Kupang diusut secara tuntas. Setara menyebut pelaku penyerangan harus diproses hukum, termasuk apabila pelakunya benar dari anggota TNI.
“Setara Institute mendesak aparat hukum untuk memproses hukum para pelaku,” kata Ketua Dewan Nasional Setara Institute Hendardi, pada Ahad, 30 April 2023.
Hendardi berkata pimpinan masing-masing institusi yakni TNI dan Polri harus menjamin tidak ada upaya melindungi pelaku. Semua pelaku dari institusi mana pun, kata dia, harus ditindak secara hukum, bukan hanya teguran. “Bukan hanya sekedar teguran, penempatan khusus, atau mutasi. Tetapi juga sampai kepada pemecatan hingga tuntutan pidana,” kata Hendardi.
Penyerangan terhadap Polres Jeneponto terjadi pada Kamis, 27 April 2023 pukul 01.45 waktu setempat. Sekelompok orang melempari ruangan Propam Polres Jeneponto dengan batu dan bom molotov. Pelaku penyerangan juga melepaskan sejumlah tembakan. Tembakan itu memakan korban luka, yaitu Bripka MM. Bripka MM terkena tembakan di bagian perut.
Mulanya, sempat beredar kabar bahwa pelaku penyerangan tersebut merupakan anggota TNI. Penyerangan itu diduga dipicu oleh aksi pemukulan terhadap dua anggota TNI oleh anggota Polres Jeneponto di sebuah warung makan di daerah Jeneponto pada Rabu, 26 April 2023. Mabes TNI dan Mabes Polri saat ini sudah membentuk tim untuk menyelidiki peristiwa penyerangan tersebut.
Hendardi mengatakan apabila benar pelaku penyerangan tersebut adalah anggota TNI, maka dia menyayangkan bahwa peristiwa seperti ini terus berulang. Dia menilai keberulangan peristiwa ini menunjukkan rapuhnya soliditas TNI dan Polri di daerah yang berimplikasi pada mudahnya percikan konflik muncul dan membesar di lapangan. “Kondisi ini semakin buruk karena kekeliruan dalam mengekspresikan semangat jiwa korsa,” kata dia.
Menurut dia, dari peristiwa ini pemerintah juga perlu melakukan evaluasi terhadap dua lembaga. Polri, kata dia, yang saat ini mengemban mandat konstitusional secara luas, harus bisa memastikan mekanisme kontrol berlapis terhadap anggotanya. Kontrol itu, kata dia, berupa kontrol etik, kinerja, maupun saat berinteraksi dengan anggota TNI. Dia mengatakan apabila kewenangan luas itu tidak dijalankan secara bertanggung jawab, maka potensi konflik dengan TNI akan memicu tragedi konflik yang berkelanjutan.
Sebaliknya di tubuh TNI, Hendardi meminta Presiden Joko Widodo untuk memimpin proses penyelesaian hukum yang berkeadilan, terlebih apabila ada organ di TNI yang berusaha menghalangi proses hukum. Dia mengatakan apabila benar pelaku penyerangan adalah TNI, maka kasus itu tidak cukup diselesaikan dengan konferensi pers bersama antar dua lembagan. Pembiaran peristiwa penyerangan ini, kata dia, hanya akan menimbulkan normalisasi kekerasan. Tanpa penyelesaian hukum, kata dia, peristiwa konflik dan penyerangan antar dua lembaga ini akan terus berulang.
“Respons artifisial dan simbolik, tanpa penyelesaian hukum, hanya akan menjadi pemicu demoralisasi anggota Polri dan mengikis legitimisasi kepemimpinan Kapolri,” kata dia.
Pilihan Editor: AHY dan Airlangga Kenang 10 Tahun Demokrat Golkar Dukung SBY, Siap Koalisi Lagi?