TEMPO.CO, Jakarta - Artati Marzuki Sudirdjo yang lahir pada 15 Juni 1921 di Salatiga adalah Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan (Mendikbud) pada Kabinet Dwikora I periode 1964-1966, dikutip dari p2k.stekom.ac.id.
Artati Marzuki Sudirdjo adalah anak pertama dari 10 saudara pasangan R. Sudirdjo Djojodihardjo dan R.A. Sumiati Reksohaminoto. Ia menempuh pendidikan di Hoogere Burgerschool te Bandoeng (sekarang bernama SMA Negeri 3 Bandung dan SMA Negeri 5 Bandung). Lalu, ia berhasil lulus dari Faculteit der Rechtsgeleerdheid atau Fakultas Hukum di Jakarta pada 9 Agustus 1941. Setelah itu, ia menikah dengan J. Marzuki sehingga dari sang suami, ia mendapatkan nama Marzuki. Dari pernikahan tersebut, pasangan ini dikaruniai dua orang anak.
Artati Marzuki Sudirdjo merupakan satu-satunya perempuan dalam sejarah pemerintahan Republik Indonesia (RI) sampai sekarang yang menjabat sebagai Mendikbud. Sebelum menjabat menjadi menteri, lebih dahulu, ia meniti karier di berbagai instansi pemerintahan yang hampir sebagian besar berkaitan dengan hukum sesuai latar belakang pendidikannya.
Ia merupakan perempuan cerdas dan menguasai banyak bahasa asing secara aktif, yaitu bahasa Inggris, bahasa Belanda, bahasa Prancis, dan bahasa Italia. Sementara itu, terdapat pula bahasa asing lainnya yang dikuasai secara pasif, yaitu bahasa Jerman dan bahasa Jepang.
Selama berkarier dalam dunia pemerintahan, ia berkontribusi besar dalam terikatnya hubungan RI dengan negara-negara lain. Atas jasanya ini, ia mendapatkan banyak penghargaan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, antara lain dari Italia, Belanda, dan Belgia.
Karier Artati Marzuki Sudirdjo
Merujuk buku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia 1945-2018, Artati memulai karier di pemerintahan sejak 1942 dengan bekerja sebagai penerjemah di Kantor Gubernur Jawa Barat di Bandung. Satu tahun kemudian, ia pindah ke Jakarta dan bekerja sebagai Buitengewoon Substituut Griffier (BS Griffier) atau Panitera Kantor Pengadilan Kepolisian.
Lalu, pada 1944, ia pindah ke kantor Pusat Kehakiman menjadi pegawai bagian Urusan Umum. Di sini, ia bekerja kurang lebih selama 7 bulan sebelum akhirnya memilih kembali ke Bandung untuk menjadi Panitera Pengadilan Negeri Bandung dan Sumedang. Ia menjadi panitera di dua tempat di Jawa Barat tersebut sampai pada 1946.
Kemudian, Artati diangkat menjadi diplomat. Pengangkatan ini berawal dari pekerjaannya sebagai pegawai pada bagian Politik dan Konsuler Kementerian Luar Negeri RI. Lalu, pada 1949, ia ditugaskan di Kementerian Luar Negeri RI yang berkantor di Yogyakarta.
Akhirnya, pada awal 1950, ia dipindahkan ke Sekretariat Jenderal Kementerian Luar Negeri di Jakarta yang ditugaskan menjadi Kepala Bagian Sosial, Humaniter, dan Kebudayaan pada Perwakilan Tetap Republik Indonesia di markas besar PBB, New York, Amerika Serikat. Setelah itu, pada 1955, ia menjadi anggota delegasi Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung yang bertanggung jawab sebagai bagian dari sekretariat.
Selama menjalani karier sebagai diplomat, Artati aktif mengikuti berbagai seminar, konferensi, dan rapat internasional. Pada 1950, ia diangkat menjadi Penasihat Delegasi Indonesia pada Konferensi Bantuan Teknik di New York. Ia juga aktif menghadiri General Assembly (Sidang Umum atau SU) PBB sebagai anggota delegasi RI sejak SU ke-5 sampai SU ke-9.
Artati Marzuki Sudirdjo juga pernah menjabat sebagai anggota Badan Eksekutif Dana Bantuan Darurat PBB untuk Anak-anak (UNICEF). Ia juga pernah menjadi anggota Komite Permasalahan Kependudukan PBB dan Penasihat Delegasi RI ke Sidang Komisi PBB untuk Asia Jauh (ECAFE) di Tokyo.
Kemudian, pada 1966, Presiden Soekarno melakukan reshuffle Kabinet Dwikora yang membuat Artati diberhentikan dari tugasnya sebagai Mendikbud. Lalu, pada 19 April 2021, Artati meninggal di Jakarta.
Pilihan Editor: 3 Dosa Besar Pendidikan Indonesia Menurut Mendikbud Nadiem
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.