TEMPO.CO, Jakarta - Pada Selasa 18 April lalu, Panglima TNI Laksamana Yudo Margono menaikkan status di Papua menjadi siaga tempur. Langkah ini dilakukan imbas dari adanya serangan dari Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) yang menewaskan seorang prajurit TNI.
“Dengan kondisi ini, khususnya di wilayah tertentu kita ubah menjadi operasi siaga tempur,” kata Yudo dalam rekaman konferensi pers di Timika, Papua.
Serangan KKB itu disebut dilancarkan terhadap Batalyon Infanteri Raider 321/Galuh Taruna di Distrik Mugi-Mam, Nduga, Papua pada 15 April 2023. Selain menelan satu korban jiwa, empat prajurit TNI lainnya mengalami luka tembak.
Amnesty International Indonesia serukan penghentian status siaga tempur
Menanggapi hal ini, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan pihaknya menyayangkan keputusan Panglima TNI itu.
“Selama puluhan tahun, Jakarta menerapkan pendekatan keamanan dalam mengatasi konflik di Papua, selama itu pula korban terus berjatuhan. Pendekatan keamanan terbukti tidak menyelesaikan kekerasan di Papua. Namun negara tidak pernah belajar dari pengalaman ini.” kata Hamid dalam keterangannya di laman Amnesty International Indonesia.
Hamid mengatakan pemberlakuan siaga tempur ini meningkatkan risiko keselamatan warga sipil di sana dan juga pilot Susi Air asal Selandia Baru, Phillip Mark Mehrtens, yang masih disandera kelompok pro-kemerdekaan pimpinan Egianus Kogoya.
“Potensi pelanggaran HAM dengan korban jiwa juga makin besar, apabila kita merujuk pada insiden kekerasan empat tahun belakangan ini. Dan korbannya tidak hanya warga sipil, namun juga dari kalangan aparat keamanan,” katanya.
Hamid mengingatkan bahwa kondisi HAM di Papua sudah sangat mengkhawatirkan. Pihaknya mencatat dalam lima tahun terakhir setidaknya ada 179 warga meninggal dalam puluhan kasus pembunuhan di luar hukum yang melibatkan aparat keamanan dan kelompok pro-kemerdekaan Papua.
“Kami menyerukan agar aparat keamanan segera menghentikan operasi militer dengan status siaga tempur TNI, mengedepankan pendekatan dialog dengan kelompok pro-kemerdekaan dan pihak-pihak terkait untuk mencegah potensi pelanggaran HAM dan krisis kemanusiaan yang lebih besar. Kami juga mendesak agar proses pembebasan sandera dilakukan tanpa menimbulkan korban sipil,” katanya.
Selanjutnya: Apa respons Komnas HAM dan KontraS soal siaga tempur TNI di Papua?