TEMPO.CO, Jakarta - Rancangan Undang-Undang atau RUU Perampasan Aset belum kunjung disahkan oleh DPR. Padahal, Presiden Jokowi sudah mendesak para petinggi pemerintahan untuk segera mengesahkan RUU tersebut.
Desakan pengesahan RUU ini naik ke permukaan lantaran banyaknya kasus berdatangan tentang harta kekayaan para pejabat negara yang dinilai tidak wajar. Hal ini bermula dari terungkapnya kasus penganiayaan Mario Dandy, anak dari Rafael Alun Trisambodo, Direktorat Jenderal Pajak terhadap anak petinggi GP Ansor di Jakarta Selatan, sebagaimana diberitakan Tempo
Meskipun RUU Perampasan Aset masih belum menemukan hilal untuk pengesahannya, tetapi Indonesia memiliki beberapa batang hukum lainnya yang mengatur tentang hukuman perampasan aset.
Berikut adalah batang hukum Indonesia yang mengatur tentang hukuman permasalahan perampasan aset agar hartanya dikembalikan ke negara, yaitu:
UU nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Pada UU ini perampasan aset merupakan instrumen utama pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Ketentuan tentang pertanggungjawaban secara perdata pelaku tindak pidana korupsi atau ahli warisnya secara lengkap dapat ditemukan dalam Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34 UU nomor 31 tahun 1999 dan Pasal 38C UU nomor 20 tahun 2001. Upaya pengembalian kerugian keuangan negara dengan hukuman perdata, sepenuhnya tunduk pada disiplin hukum perdata materiil dan formil, meskipun berhubungan dengan tindak pidana korupsi.
Merangkum ejurnal.iainpare.ac.id, pengembalian kerugian keuangan negara juga dapat dilakukan melalui tindak pidana. Tindakan ini dilakukan oleh jaksa dengan menyita harta benda milik pelaku yang sebelumnya telah diputus pengadilan dengan putusan pidana tambahan berupa uang pengganti kerugian keuangan negara.
Pada Pasal 3 UU nomor 31 tahun 1999 dijelaskan bahwa setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau korporasi menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan dan dapat merugikan keuangan negara akan dilakukan tindak pidana. Adapun, pidananya berupa penjara seumur hidup atau paling singkat satu tahun dan paling lama 20 tahun atau denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar). Lebih lanjut, aturan tentang perampasan aset sebagai pidana tambahan beserta hukumannya dijelaskan dalam Pasal 18 UU nomor 31 tahun 1999, seperti dilansir bpk.go.id.
Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Pada pasal 10 KUHP, perampasan harta termasuk dalam jenis pidana perampasan barang tertentu. Pidana perampasan merupakan pidana kekayaan dengan penggolongan dua macam barang yang dapat dirampas, yaitu barang hasil kejahatan dan barang untuk digunakan dalam kejahatan. Benda yang dirampas akan dieksekusi dengan dilelang di depan publik oleh jaksa, lalu hasilnya diserahkan ke kas negara berdasarkan pos hasil dinas kejaksaan, seperti dikutip ejournal.unsrat.ac.id.
UU nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
Sebelum disahkannya RUU Perampasan Aset, setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaannya merupakan hasil tindak pidana dengan tujuan menyembunyikan asal usul hartanya diatur dalam UU nomor 8 tahun 2010. Akibatnya, sesuai Pasal 3, seseorang tersebut dijatuhkan pidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp10 miliar, seperti tertulis dalam ppid.ppatk.go.id.
TIM TEMPO
Piliharn editor : 5 Urgensi Disahkannya RUU Perampasan Aset
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung.